

Kebobrokan Moral—Makna di Balik Semua Ini
Di seluruh dunia, moral merosot secara drastis. Kapan kemerosotan itu merebak, dan mengapa? Menuju ke mana dunia kita ini?Kebobrokan Moral di Seluruh Dunia *
”KECURANGAN ada di mana-mana,” kata David Callahan, yang baru-baru ini menulis buku The Cheating Culture. Ia menyebutkan beberapa contohnya di Amerika Serikat, ”kecurangan di kalangan siswa SMA dan perguruan tinggi”, ”pembajakan” musik dan film, ”pencurian di tempat kerja”, ”penipuan besar-besaran dalam bidang kesehatan”, dan penggunaan doping dalam olah raga. Ia menyimpulkan, ”Gabungkan segala bentuk pelanggaran etika dan hukum, maka yang kita hadapi adalah krisis moral yang sangat gawat.”
The New York Times mengatakan bahwa Badai Katrina, yang melanda Amerika Serikat pada akhir tahun 2005, ”menciptakan salah satu pertunjukan paling mengejutkan tentang kecurangan, akal bulus dan kecerobohan birokratis yang mencengangkan dalam sejarah modern”. Seorang senator AS melaporkan, ”Penipuan yang tidak bermalu, akal bulus yang nekat, pemborosan besar-besaran—benar-benar membuat kita terperangah.”
sebuah ”lokakarya masalah penganiayaan seksual dan pornografi” di suatu daerah kumuh di Uganda, mengatakan bahwa ”kelalaian orang tua adalah penyebab meningkatnya prostitusi dan penyalahgunaan narkoba di daerah itu”. Surat kabar itu menyatakan, ”Pejabat yang mengawasi Unit Perlindungan Anak dan Keluarga di Kantor Polisi di Kawempe, Tn. Dhabangi Salongo, mengatakan bahwa jumlah penganiayaan anak dan kekerasan dalam rumah tangga telah meningkat secara luar biasa.”
Menurut seorang psikiater di India, ”masyarakat tidak lagi dikekang oleh nilai-nilai budayanya”. Seorang direktur film di sana mengatakan bahwa ”meningkatnya penggunaan narkoba dan semakin maraknya seks bebas adalah petunjuk lain lagi bahwa India sedang tenggelam dalam ’kebejatan ala Barat’”.
Hu Peicheng, sekretaris jenderal Asosiasi Seksologi Cina di Beijing, mengomentari, ”Di masyarakat kita dulu, kita tahu mana yang benar dan yang salah. Sekarang, kita dapat berbuat sesukanya.” Sebuah artikel dalam majalah China Today mengatakannya begini, ”Masyarakat semakin toleran saja terhadap perselingkuhan.”
”Tampaknya semua orang menanggalkan baju dan menggunakan seks sebagai taktik dagang,” komentar Yorkshire Post Inggris baru-baru ini. ”Sekitar satu generasi yang lalu, perbuatan demikian akan menimbulkan kegemparan karena dianggap melanggar standar moral. Dewasa ini, kita dibombardir dengan gambar-gambar seksual dari segala arah dan pornografi telah . . . diterima oleh masyarakat umum.” Surat kabar itu menambahkan, ”Tontonan dan bacaan yang dulu dianggap aman hanya bagi yang berumur 18 tahun ke atas sekarang sering menjadi tontonan sehari-hari bagi keluarga dan, menurut pendukung kampanye anti pornografi, sering jelas-jelas ditargetkan untuk anak-anak.”
The New York Times Magazine mengatakan, ”[Beberapa remaja] mengobrolkan [pengalaman seksual mereka] tanpa malu-malu seperti ketika mereka membicarakan menu makan siang.” Tweens News, ”pedoman orang tua anak-anak usia 8 hingga 12 tahun”, menyatakan, ”Dengan coretan anak kecil, seorang anak perempuan menulis pesan yang memilukan hati, ’Mama memaksaku pacaran dan berhubungan seks. Umurku baru 12 tahun . . . tolong!’”
Zaman telah sangat berubah! Toronto Star Kanada menyatakan bahwa belum lama berselang, ”gagasan tentang kaum homo atau lesbian hidup bersama secara terang-terangan, itu saja sudah sangat menggemparkan”. Namun, Barbara Freemen, seorang guru sejarah sosial di Carleton University, Ottawa, menyatakan, ”Orang sekarang mengatakan, ’Ini kehidupan pribadiku. Orang lain tidak usah ikut campur.’”
Jelaslah, selama beberapa dekade belakangan, moral telah merosot secara cepat di banyak tempat di dunia. Apa penyebab perubahan yang drastis ini? Bagaimana perasaan Anda sendiri tentang hal itu? Dan, apa yang ditunjukkan hal-hal tersebut mengenai masa depan?
atau mungkin sebelum itu, semasa hidup kerabat atau teman Anda yang lebih tua? Ada yang mengatakan bahwa Perang Dunia I, yang meletus pada tahun 1914, memperkenalkan era kebejatan moral yang tidak ada duanya. Profesor sejarah Robert Wohl menulis dalam bukunya The Generation of 1914, ”Orang-orang yang hidup melampaui perang itu tidak pernah dapat mengenyahkan dari pikiran mereka bahwa satu dunia telah berakhir dan dunia lain dimulai pada bulan Agustus 1914.”
Dalam karyanya yang lengkap The Outline
of History, sejarawan Inggris H. G. Wells menyatakan bahwa setelah teori evolusi diterima, ”kemerosotan moral yang fundamental pun berlangsung”. Mengapa? Ada yang berpendapat bahwa manusia hanyalah sejenis binatang yang lebih unggul. Wells, seorang evolusionis, menulis pada tahun 1920, ”Mereka berkesimpulan bahwa manusia adalah binatang sosial seperti anjing pemburu India . . . , jadi bagi mereka tampaknya tidak salah bahwa anjing-anjing yang lebih kuat dalam kawanan manusia seharusnya menindas dan menaklukkan.”
Sesungguhnya, sebagaimana dinyatakan Cantor, perang dunia pertama benar-benar mengubah standar orang tentang yang benar dan salah. Ia menjelaskan, ”Generasi yang lebih tua dianggap salah dalam segala hal—politik, cara berpakaian, norma-norma seksual.” Gereja-gereja, yang melacurkan ajaran Kristen dengan mendukung teori evolusi serta memanas-manasi pihak-pihak yang berperang, sangat berperan dalam kemerosotan moral itu. Brigadir Jenderal Inggris bernama Frank Crozier menulis, ”Kami memiliki Gereja-Gereja Kristen sebagai alat yang paling ampuh untuk mengobarkan semangat membunuh dan kami memanfaatkan mereka sepenuhnya.”
Depresi Besar dunia tahun 1930-an menyadarkan banyak orang dengan menjerumuskan mereka ke dalam kemiskinan yang parah. Namun, pada akhir dekade tersebut, dunia telah memasuki perang lain, yang bahkan lebih menghancurkan—Perang Dunia II. Tidak lama kemudian, bangsa-bangsa memproduksi senjata-senjata pemusnah yang menakutkan, dan dunia pun ditarik keluar dari Depresi tetapi dijebloskan ke dalam kesengsaraan serta kengerian yang tak terbayangkan. Ketika perang tersebut berakhir, ratusan kota menjadi puing; dua kota di Jepang hancur lebur, masing-masing oleh satu bom atom! Jutaan orang mati di kamp-kamp konsentrasi yang mengerikan. Secara keseluruhan, konflik tersebut menewaskan sekitar 50 juta pria, wanita, dan anak-anak.
Selama kengerian Perang Dunia II, orang-orang bukannya berpegang pada standar kepatutan yang sudah lama dianut, mereka malah menerapkan kaidah perilaku mereka sendiri. Buku Love, Sex and War—Changing Values, 1939-45, menyatakan, ”Tampaknya, pengekangan seksual untuk sementara dilepas selama perang, seraya perilaku bebas yang dianggap berterima di medan perang memasuki kehidupan sipil. . . . Perasaan genting dan kehebohan masa perang segera melemahkan pengekangan moral, dan di banyak kalangan sipil, kehidupan tampak sama murah dan singkatnya seperti kehidupan di medan perang.”
Karena terus berada di bawah ancaman maut, orang-orang semakin merindukan hubungan emosional, bahkan hubungan yang hanya seumur jagung. Seorang ibu rumah tangga di Inggris berupaya membenarkan seks bebas selama tahun-tahun penuh gejolak tersebut, dengan mengatakan, ”Kami bukannya amoral, tapi perang sedang berkecamuk.” Seorang prajurit Amerika mengakui, ”Menurut standar kebanyakan orang kami amoral, tapi kami masih muda dan bisa saja mati besok.”
Banyak orang yang hidup melewati perang itu menderita akibat kengerian yang mereka saksikan. Sampai hari ini beberapa orang, termasuk mereka yang waktu itu masih anak-anak, sering mengalami kilas balik, merasa bahwa trauma yang mereka alami berulang lagi. Banyak yang kehilangan iman serta kompas moral mereka. Tanpa respek terhadap wewenang apa pun yang bisa menetapkan standar tentang apa yang benar dan salah, orang mulai menganggap segala sesuatu bersifat relatif.
Selama beberapa waktu, orang berupaya untuk tetap kelihatan berakhlak. Misalnya, di radio, film, dan televisi, bagian yang amoral disensor. Tetapi, hal itu tidak berlangsung lama. William Bennett, seorang mantan sekretaris pendidikan, menjelaskan, ”Namun, pada tahun 1960-an, Amerika mulai mengalami kemerosotan yang tajam dan tak terhalang ke arah apa yang bisa diistilahkan pembiadaban.” Dan, hal ini diikuti di banyak negeri lain. Mengapa, pada tahun 60-an, kemerosotan moral semakin cepat?
Pada dekade tersebut, hampir secara bersamaan, timbul gerakan emansipasi wanita dan revolusi seks beserta apa yang disebut moralitas baru. Selain itu, pil KB yang efektif dikembangkan. Bila seks bisa dinikmati tanpa takut hamil, ”hubungan seks tanpa komitmen di kedua pihak”, menjadi hal biasa.
Pada waktu yang sama, pers, film, dan televisi melonggarkan kaidah moralnya. Belakangan Zbigniew Brzezinski, mantan kepala Dewan Keamanan Nasional AS, mengatakan tentang nilai-nilai yang ditayangkan TV, ”Mereka jelas-jelas memuja pelampiasan nafsu, mereka membuat kekerasan dan kebrutalan tampak normal, [dan] mereka menganjurkan seks bebas.”
Pada tahun 1970-an, video sudah mulai populer. Di rumah mereka sendiri, orang-orang sekarang dapat menonton adegan seks yang amoral dan terang-terangan padahal mereka tidak akan mau ketahuan menontonnya di bioskop. Belakangan, melalui Internet, pornografi yang paling menjijikkan tersedia di negeri-negeri di seluruh dunia bagi siapa pun yang memiliki komputer.
Dalam banyak hal, konsekuensinya sungguh mengerikan. ”Sepuluh tahun lalu,” kata seorang sipir di sebuah penjara di AS baru-baru ini, ”sewaktu anak-anak muda jalanan masuk penjara, saya masih bisa berbicara kepada mereka tentang apa yang benar dan salah. Tetapi anak-anak yang masuk penjara sekarang, sama sekali tidak mengerti apa yang saya bicarakan.”
Jelaslah, kemerosotan drastis dalam bidang moral di dunia ini tidak bisa dibiarkan lagi. Namun, tindakan apa yang harus diambil? Perubahan apa yang diperlukan? Siapa yang dapat melakukannya, dan bagaimana itu akan tercapai? [C-Link] Menuju ke Mana Dunia Ini?
Related Topics (Masih dalam Bahasa): Bible Morality Is the Best Morality [C-Link Pictures]
Kemerosotan di Seluruh Dunia
Africa News tanggal 22 Juni 2006, yang memuat laporan tentang 
Menurut seorang psikiater di India, ”masyarakat tidak lagi dikekang oleh nilai-nilai budayanya”. Seorang direktur film di sana mengatakan bahwa ”meningkatnya penggunaan narkoba dan semakin maraknya seks bebas adalah petunjuk lain lagi bahwa India sedang tenggelam dalam ’kebejatan ala Barat’”.
Hu Peicheng, sekretaris jenderal Asosiasi Seksologi Cina di Beijing, mengomentari, ”Di masyarakat kita dulu, kita tahu mana yang benar dan yang salah. Sekarang, kita dapat berbuat sesukanya.” Sebuah artikel dalam majalah China Today mengatakannya begini, ”Masyarakat semakin toleran saja terhadap perselingkuhan.”
”Tampaknya semua orang menanggalkan baju dan menggunakan seks sebagai taktik dagang,” komentar Yorkshire Post Inggris baru-baru ini. ”Sekitar satu generasi yang lalu, perbuatan demikian akan menimbulkan kegemparan karena dianggap melanggar standar moral. Dewasa ini, kita dibombardir dengan gambar-gambar seksual dari segala arah dan pornografi telah . . . diterima oleh masyarakat umum.” Surat kabar itu menambahkan, ”Tontonan dan bacaan yang dulu dianggap aman hanya bagi yang berumur 18 tahun ke atas sekarang sering menjadi tontonan sehari-hari bagi keluarga dan, menurut pendukung kampanye anti pornografi, sering jelas-jelas ditargetkan untuk anak-anak.”
The New York Times Magazine mengatakan, ”[Beberapa remaja] mengobrolkan [pengalaman seksual mereka] tanpa malu-malu seperti ketika mereka membicarakan menu makan siang.” Tweens News, ”pedoman orang tua anak-anak usia 8 hingga 12 tahun”, menyatakan, ”Dengan coretan anak kecil, seorang anak perempuan menulis pesan yang memilukan hati, ’Mama memaksaku pacaran dan berhubungan seks. Umurku baru 12 tahun . . . tolong!’”
Zaman telah sangat berubah! Toronto Star Kanada menyatakan bahwa belum lama berselang, ”gagasan tentang kaum homo atau lesbian hidup bersama secara terang-terangan, itu saja sudah sangat menggemparkan”. Namun, Barbara Freemen, seorang guru sejarah sosial di Carleton University, Ottawa, menyatakan, ”Orang sekarang mengatakan, ’Ini kehidupan pribadiku. Orang lain tidak usah ikut campur.’”
Jelaslah, selama beberapa dekade belakangan, moral telah merosot secara cepat di banyak tempat di dunia. Apa penyebab perubahan yang drastis ini? Bagaimana perasaan Anda sendiri tentang hal itu? Dan, apa yang ditunjukkan hal-hal tersebut mengenai masa depan?
Ketika Moral Merosot Drastis
MENURUT Anda, kapan moral mulai merosot secara drastis? Semasa hidup Anda 
Photo Robert Wohl, from google searching
”Di mana-mana, standar perilaku sosial—yang sudah mulai merosot—menjadi berantakan,” kata sejarawan Norman Cantor. ”Apabila para politikus dan jenderal telah memperlakukan jutaan orang di bawah pengawasan mereka bagaikan binatang yang digiring ke pembantaian, maka norma agama atau etika mana yang masih dapat mencegah manusia untuk tidak memperlakukan satu sama lain dengan kebuasan binatang rimba? . . . Pembantaian selama Perang Dunia Pertama [1914-18] sama sekali merendahkan nilai kehidupan manusia.”Dalam karyanya yang lengkap The Outline

Sesungguhnya, sebagaimana dinyatakan Cantor, perang dunia pertama benar-benar mengubah standar orang tentang yang benar dan salah. Ia menjelaskan, ”Generasi yang lebih tua dianggap salah dalam segala hal—politik, cara berpakaian, norma-norma seksual.” Gereja-gereja, yang melacurkan ajaran Kristen dengan mendukung teori evolusi serta memanas-manasi pihak-pihak yang berperang, sangat berperan dalam kemerosotan moral itu. Brigadir Jenderal Inggris bernama Frank Crozier menulis, ”Kami memiliki Gereja-Gereja Kristen sebagai alat yang paling ampuh untuk mengobarkan semangat membunuh dan kami memanfaatkan mereka sepenuhnya.”
Kaidah-Kaidah Moral Disingkirkan
Selama dasawarsa setelah Perang Dunia I—yang disebut Tahun Dua Puluhan yang Bergelora—nilai-nilai lama serta batas-batas moral diabaikan dan diganti dengan sikap serbaboleh. Sejarawan Frederick Lewis Allen mengomentari, ”Sepuluh tahun setelah perang akan cocok bila dikenal sebagai dekade Tata Krama Buruk. . . . Dengan berlalunya tatanan lama lenyaplah seperangkat nilai yang telah memberikan mutu dan makna kehidupan, dan nilai-nilai pengganti tidak mudah ditemukan.”Depresi Besar dunia tahun 1930-an menyadarkan banyak orang dengan menjerumuskan mereka ke dalam kemiskinan yang parah. Namun, pada akhir dekade tersebut, dunia telah memasuki perang lain, yang bahkan lebih menghancurkan—Perang Dunia II. Tidak lama kemudian, bangsa-bangsa memproduksi senjata-senjata pemusnah yang menakutkan, dan dunia pun ditarik keluar dari Depresi tetapi dijebloskan ke dalam kesengsaraan serta kengerian yang tak terbayangkan. Ketika perang tersebut berakhir, ratusan kota menjadi puing; dua kota di Jepang hancur lebur, masing-masing oleh satu bom atom! Jutaan orang mati di kamp-kamp konsentrasi yang mengerikan. Secara keseluruhan, konflik tersebut menewaskan sekitar 50 juta pria, wanita, dan anak-anak.
Selama kengerian Perang Dunia II, orang-orang bukannya berpegang pada standar kepatutan yang sudah lama dianut, mereka malah menerapkan kaidah perilaku mereka sendiri. Buku Love, Sex and War—Changing Values, 1939-45, menyatakan, ”Tampaknya, pengekangan seksual untuk sementara dilepas selama perang, seraya perilaku bebas yang dianggap berterima di medan perang memasuki kehidupan sipil. . . . Perasaan genting dan kehebohan masa perang segera melemahkan pengekangan moral, dan di banyak kalangan sipil, kehidupan tampak sama murah dan singkatnya seperti kehidupan di medan perang.”
Karena terus berada di bawah ancaman maut, orang-orang semakin merindukan hubungan emosional, bahkan hubungan yang hanya seumur jagung. Seorang ibu rumah tangga di Inggris berupaya membenarkan seks bebas selama tahun-tahun penuh gejolak tersebut, dengan mengatakan, ”Kami bukannya amoral, tapi perang sedang berkecamuk.” Seorang prajurit Amerika mengakui, ”Menurut standar kebanyakan orang kami amoral, tapi kami masih muda dan bisa saja mati besok.”
Banyak orang yang hidup melewati perang itu menderita akibat kengerian yang mereka saksikan. Sampai hari ini beberapa orang, termasuk mereka yang waktu itu masih anak-anak, sering mengalami kilas balik, merasa bahwa trauma yang mereka alami berulang lagi. Banyak yang kehilangan iman serta kompas moral mereka. Tanpa respek terhadap wewenang apa pun yang bisa menetapkan standar tentang apa yang benar dan salah, orang mulai menganggap segala sesuatu bersifat relatif.
Norma-Norma Baru Masyarakat
Setelah Perang Dunia II, berbagai hasil penelitian diterbitkan mengenai perilaku seks manusia. Salah satu penelitian seperti itu di Amerika Serikat pada tahun 1940-an adalah Laporan Kinsey, setebal lebih dari 800 halaman. Akibatnya, banyak orang mulai berbicara secara terbuka mengenai soal seks, yang dulunya tidak umum dibahas. Meskipun belakangan diakui bahwa statistik mengenai pelaku homoseks dan perilaku seks menyimpang lainnya yang dicantumkan dalam laporan itu dibesar-besarkan, penelitian tersebut menyingkapkan kemerosotan moral yang drastis setelah perang.Selama beberapa waktu, orang berupaya untuk tetap kelihatan berakhlak. Misalnya, di radio, film, dan televisi, bagian yang amoral disensor. Tetapi, hal itu tidak berlangsung lama. William Bennett, seorang mantan sekretaris pendidikan, menjelaskan, ”Namun, pada tahun 1960-an, Amerika mulai mengalami kemerosotan yang tajam dan tak terhalang ke arah apa yang bisa diistilahkan pembiadaban.” Dan, hal ini diikuti di banyak negeri lain. Mengapa, pada tahun 60-an, kemerosotan moral semakin cepat?
Pada dekade tersebut, hampir secara bersamaan, timbul gerakan emansipasi wanita dan revolusi seks beserta apa yang disebut moralitas baru. Selain itu, pil KB yang efektif dikembangkan. Bila seks bisa dinikmati tanpa takut hamil, ”hubungan seks tanpa komitmen di kedua pihak”, menjadi hal biasa.
Pada waktu yang sama, pers, film, dan televisi melonggarkan kaidah moralnya. Belakangan Zbigniew Brzezinski, mantan kepala Dewan Keamanan Nasional AS, mengatakan tentang nilai-nilai yang ditayangkan TV, ”Mereka jelas-jelas memuja pelampiasan nafsu, mereka membuat kekerasan dan kebrutalan tampak normal, [dan] mereka menganjurkan seks bebas.”
Pada tahun 1970-an, video sudah mulai populer. Di rumah mereka sendiri, orang-orang sekarang dapat menonton adegan seks yang amoral dan terang-terangan padahal mereka tidak akan mau ketahuan menontonnya di bioskop. Belakangan, melalui Internet, pornografi yang paling menjijikkan tersedia di negeri-negeri di seluruh dunia bagi siapa pun yang memiliki komputer.
Dalam banyak hal, konsekuensinya sungguh mengerikan. ”Sepuluh tahun lalu,” kata seorang sipir di sebuah penjara di AS baru-baru ini, ”sewaktu anak-anak muda jalanan masuk penjara, saya masih bisa berbicara kepada mereka tentang apa yang benar dan salah. Tetapi anak-anak yang masuk penjara sekarang, sama sekali tidak mengerti apa yang saya bicarakan.”
Ke Mana Kita Bisa Mencari Bimbingan?
Kita tidak bisa berpaling kepada gereja-gereja dunia untuk bimbingan moral. Bukannya menjunjung tinggi prinsip-prinsip yang adil-benar seperti yang dilakukan Yesus dan para pengikutnya pada abad pertama, gereja-gereja telah menjadikan diri bagian dari dunia dan kejahatannya. Seorang penulis bertanya, ”Adakah perang yang pihak-pihaknya tidak mengaku didukung Allah?” Sehubungan dengan menjunjung standar moral Allah, beberapa tahun yang lalu seorang klerus di New York City mengatakan, ”Gereja adalah satu-satunya organisasi di dunia yang memiliki persyaratan masuk yang lebih rendah dibandingkan dengan persyaratan masuk bus.”Jelaslah, kemerosotan drastis dalam bidang moral di dunia ini tidak bisa dibiarkan lagi. Namun, tindakan apa yang harus diambil? Perubahan apa yang diperlukan? Siapa yang dapat melakukannya, dan bagaimana itu akan tercapai? [C-Link] Menuju ke Mana Dunia Ini?
Related Topics (Masih dalam Bahasa): Bible Morality Is the Best Morality [C-Link Pictures]
Millions of people who have taken a close look at the Holy Scriptures have come to appreciate that Bible counsel is based on godly wisdom, which is far superior to human thinking. Such ones regard the Bible as trustworthy and relevant to life in our modern world. They know that it is in their best interests to heed the counsel in God's Word.
Catatan Kaki:
* Tentu saja, masih ada orang yang menunjukkan kebaikan tanpa pamrih. (Kisah 27:3; 28:2) Namun, yang lebih sering kita dengar adalah, ”Mana bagian saya? Apa untungnya buat saya?” Sikap aku dulu dan mau menang sendiri tampaknya menjadi aturan umum.
Pada zaman dahulu, amoralitas yang mementingkan diri dan terang-terangan disebut sebagai salah satu faktor penyebab runtuhnya peradaban, misalnya Imperium Romawi. Mungkinkah apa yang terjadi sekarang merupakan pendahuluan dari sesuatu yang lebih signifikan lagi? Benarkah setiap bagian dunia sekarang dilanda ”bertambahnya pelanggaran hukum”, yang Alkitab nubuatkan akan menjadi tanda berakhirnya seluruh sistem ini?—Matius 24:3-8, 12-14; 2 Timotius 3:1-5.