Qilai Shen/Robinson, Panos Pictures
SELAMA paruh kedua abad ke-20, dunia terlibat dalam Perang Dingin dan secara politis terbagi menjadi tiga. Dunia Komunis, yang terutama diwakili oleh Republik Sosialis Uni Soviet, dan dunia non-Komunis, yang dipimpin oleh Amerika Serikat, secara kiasan saling bertatapan lewat sebuah Tirai Besi. Bangsa-bangsa yang netral membentuk apa yang disebut Dunia Ketiga.
Tetapi kemudian, istilah ”Dunia Ketiga” dianggap merendahkan, dan diganti dengan istilah ”negara-negara yang belum berkembang”. Seraya waktu berlalu, istilah ini juga mendapat konotasi negatif sehingga para ekonom mulai menggunakan istilah ”negara-negara berkembang”. Jadi, istilah yang digunakan tidak lagi menandaskan perbedaan politis tetapi perbedaan ekonomi.
Pada abad ke-21 ini, dunia tidak lagi terbagi menjadi tiga blok politik seperti disebutkan di atas. Namun, dari segi ekonomi dan industri, perbedaan antara negara maju dan berkembang masih nyata. Para wisatawan dari negara makmur berinteraksi dengan orang-orang yang kurang berada yang berjuang mencari sesuap nasi.
Maka, pertanyaan ini cocok: Apakah dunia ini sudah ditentukan untuk tetap terbagi secara ekonomi, atau dapatkah kalangan yang berada, yaitu orang kaya, dan kalangan yang tidak berada, yaitu orang miskin, sama-sama menikmati standar hidup yang layak?
Jurang antara si Kaya dan si Miskin
APA PUN istilahnya, negara sangat maju, negara industri, dan negara makmur bangga dengan standar kehidupan mereka yang tinggi, sedangkan negara non-industri, yang kurang maju secara ekonomi, harus puas dengan standar kehidupan yang lebih rendah. Mereka seolah-olah hidup di dua dunia yang berbeda.
Ya, kedua dunia itu bisa saja ada bahkan di satu negara. Pertimbangkan negara-negara yang relatif makmur yang disebutkan di artikel sebelumnya. Di sana pun ada orang kaya dan orang miskin. Misalnya di Amerika Serikat, sekitar 30 persen pendapatan total negara itu masuk ke kantong 10 persen keluarga kaya. Sementara itu, 20 persen keluarga miskin harus hidup dengan hanya 5 persen pendapatan nasional. Situasi ini atau yang serupa mungkin ada di negara tempat Anda tinggal, terutama jika golongan menengahnya kecil. Tetapi, bahkan pemerintah di negara-negara yang golongan menengahnya relatif besar sampai sekarang tidak dapat menjembatani jurang ekonomi antara dunia si kaya dan si miskin.
Kedua Dunia Itu Sama-Sama Tidak Ideal
Pihak mana pun tidak dapat dengan sah mengatakan bahwa dunia merekalah yang sempurna. Pikirkan kesulitan yang jelas-jelas dialami orang-orang di negara yang lebih miskin. Perawatan kesehatan sangat tidak memadai. Di 9 negara terkaya yang disebutkan dalam kotak di halaman ini, rasionya adalah 1 dokter untuk 242 hingga 539 penduduk, sedangkan di 18 negara termiskin adalah 1 dokter untuk 3.707 hingga 49.118 penduduk. Maka, dapat dipahami bahwa harapan hidup di negara-negara yang lebih makmur adalah 73 tahun atau lebih, sedangkan di lebih dari separuh negara-negara termiskin, jauh di bawah 50 tahun.
Di negara miskin, kemungkinan untuk mengenyam pendidikan juga sangat terbatas, sehingga sering kali anak-anak mau tidak mau hidup miskin. Kurangnya pendidikan terlihat dari rasio melek huruf. Tujuh dari 9 negara terkaya memiliki rasio melek huruf 100 persen (di 2 negara lainnya, 96 dan 97 persen), sedangkan di 18 negara termiskin, rasionya berkisar antara yang tertinggi, 81 persen, dan yang terendah, 16 persen, dan 10 negara di antaranya, di bawah 50 persen.
[Blurb] ”Tidak lama lagi, obesitas mungkin akan menjadi masalah kesehatan masyarakat yang paling gawat di dunia, mengalahkan kelaparan dan penyakit menular.”—The Atlantic Monthly
Namun, penduduk negara kaya juga punya problem. Penduduk negara miskin bisa jadi menderita karena kurang makan, tetapi penduduk negara makmur pun mengidap penyakit karena makan berlebihan. Menurut buku Food Fight, ”makan dan minum berlebihan telah menjadi problem pangan nomor satu di dunia, mengalahkan problem kekurangan gizi”. Dan, majalah The Atlantic Monthly menyatakan, ”Sekitar sembilan juta orang Amerika sekarang ’mengalami kegemukan yang menimbulkan penyakit’, artinya berat badan mereka kelebihan 45 kilogram atau lebih, dan kondisi kesehatan yang buruk yang berkaitan dengan berat badan mengakibatkan kematian dini sekitar 300.000 orang dalam setahun di negara itu.” Artikel yang sama menunjukkan bahwa ”tidak lama lagi, obesitas mungkin akan menjadi masalah kesehatan masyarakat yang paling gawat di dunia, mengalahkan kelaparan dan penyakit menular”.
Memang, penduduk negara kaya mempunyai standar kehidupan yang lebih tinggi, namun mereka mungkin menganggap harta lebih penting daripada persahabatan, jadi mereka terlalu mengutamakan soal memiliki ketimbang menikmatinya. Mereka kemudian cenderung menilai seseorang berdasarkan pekerjaan, gaji, atau hartanya, bukan berdasarkan pengetahuan, hikmat, kemampuan, atau sifat-sifat baiknya.
Ketika menandaskan bahwa kehidupan yang sederhana justru membawa kebahagiaan, judul sebuah artikel dalam mingguan Jerman Focus mengajukan pertanyaan, ”Bagaimana Kalau Hanya Punya Sedikit?” Kata artikel itu, ”Kebanyakan warga di dunia Barat tidak lebih berbahagia sekarang dibanding puluhan tahun yang lalu, meskipun kini mereka jauh lebih makmur. . . . Orang yang hanya memikirkan harta benda pada akhirnya cenderung tidak bahagia.”
Ya, fakta membuktikan bahwa dunia si kaya dan si miskin, kedua-duanya memiliki aspek positif maupun negatif. Dunia si miskin bisa jadi terlalu sederhana, namun dunia si kaya bisa terlalu rumit. Alangkah bagusnya apabila kedua dunia ini dapat belajar dari satu sama lain! Namun, apakah realistis untuk berpikir bahwa keseimbangan yang sempurna bisa diraih?
Dari sudut pandangan manusia, Anda mungkin merasa bahwa tujuan itu, walaupun didambakan, benar-benar di luar kesanggupan manusia. Dan, sejarah membuktikan bahwa Anda benar. Meskipun demikian, situasinya bukanlah tanpa harapan. Anda mungkin melupakan solusi yang paling masuk akal. Apa gerangan itu?
Statistik 2005 [9 negara terkaya & 18 negara termiskin] di link ini
Lanjutan Artikel ini: JALAN KELUAR YANG SEJATI untuk Mengatasi Kemiskinan.
Appeared in Awake! November 8, 2005