Mengulas tentang "Child Abuse"

Michael Jackson dan "Child Abuse" begitulah judul berita di portalnya harian KOMPAS. [click link ini], iblogronnp.com akan senang mengulasnya, namun kita baca dulu kutipan di berita itu:"Betapapun, menurut dr Nalini, MJ memang hebat. Paling tidak, untuk rentang waktu tertentu ia mampu ”mengalahkan” luka batinnya, masa kecilnya yang terkoyak, lewat prestasinya dalam dunia musik pop dunia. MJ yang kaya, yang tersohor, dengan sederet prestasi gemilangnya, ternyata berakhir hidupnya dalam gelimang sunyi yang sulit dimengerti awam. Gaya hidupnya yang aneh dan menutup diri, mencari dan mencari sesuatu untuk mengisi emosi yang kosong. Ia seperti selalu mengejar fatamorgana."Betapapun, menurut dr Nalini, MJ memang hebat.

Semasa kecil, konon MJ harus berlatih keras dan disiplin kaku yang melebihi kapasitas yang dapat disangga seorang anak kecil. Ayahnya mahakeras mendidik anak-anaknya, hampir mereka kehilangan masa kecil yang indah dan ceria, terlambat latihan akan diganjar gebukan ayahnya. ”Cinta kepada ayahnya sedikit demi sedikit tergerus dan digantikan kebencian. Kendati akhirnya mereka berhasil dalam prestasi menyanyi, luka jiwanya yang tak terperi masih terus meninggalkan parut tajam di ingatannya,” ujar dr Nalini. Dikatakan, child abuse (perlakuan salah terhadap anak) memang bukan perkara sederhana seperti banyak orang memandang dan berpikir selama ini. Child abuse adalah sebuah tragedi kehidupan. Luka fisik bisa terobati, tetapi luka batin meninggalkan jejak panjang seumur hidup yang mau tidak mau membutuhkan bimbingan yang akurat."

Ya, kehidupan bintang tenar ini menjadi sebuah contoh hasil dari pola asuh dan kalimat terakhir di kutipan berita web site KOMPAS diatas menjadi kesimpulan yang tepat. Untuk itu mari kita tautkan dengan informasi yang saya sadur dari Pulikasi favorit saya yaitu Awake! terbitan October 2007. Semuanya berawal dari masa kanak-kanak yang tidak bahagia, stres, tekanan emosi yang tak terungkapkan. Sebelum kita mengulas masalah child abuse devinisi dan persoalannya, kita akan mengulas dulu tentang anak-anak yang stres yang diberi judul oleh Awake terbitan Juli 1993: Epidemi Anak-Anak yang Mengalami Stres

”RANDY!” jerit Rita dengan penuh rasa ngeri atas apa yang dilihatnya dari kejauhan seraya ia menuju rumahnya. Putranya, Randy, menjulurkan setengah tubuhnya dari jendela kamar tidur di tingkat atas, delapan meter di atas beranda beton. Dari dalam rumah, Larry mendengar jeritan histeris istrinya dan langsung bertindak. Ia segera menaiki tangga, bergegas ke kamar tidur dan merenggut Randy, menariknya ke dalam sehingga selamat. Orang-tua Randy perlu jawaban segera. ”Kenapa kamu lakukan itu? Kenapa?” tanya mereka dengan rasa tak percaya. ”Kamu bisa celaka; kamu bisa mati!” ”Saya ingin mati,” jawab Randy acuh tak acuh. Randy baru berusia lima tahun.

DARI seluruh penampilan luar, Randy adalah seorang anak yang normal dan sehat. Tak seorang pun curiga bahwa ia diam-diam ingin mati. Belakangan, setelah diadakan bimbingan dan penyuluhan, tersingkaplah bahwa Randy adalah anak yang mengalami stres berat.Seperti Randy, tak terhitung banyaknya anak dewasa ini menjadi korban dari banyak gejolak. Karena tidak berhasil menemukan cara yang sehat untuk mengatasi tekanan, ada yang dengan sia-sia berupaya menekan kekhawatiran mereka. Namun, stres yang tertahan ini akhirnya akan menemukan jalan keluar. Bagi beberapa orang, kekhawatiran yang tidak dapat diutarakan akan mengakibatkan penyakit fisik atau perilaku yang melanggar hukum. Bagi orang-orang lain, stres akan berbalik menyerang diri sendiri melalui perbuatan yang merusak diri, termasuk melukai diri sendiri, makan tidak teratur, penyalahgunaan alkohol, obat bius, dan narkotik, serta bahkan bunuh diri. The Child in Crisis mengatakan, ”Banyak dari problem-problem ini—khususnya bunuh diri—dahulu dianggap hanya dapat dilakukan oleh orang-orang dewasa dan remaja. Sekarang, ternyata hal-hal itu merembet kepada anak-anak kecil.

’Bagaimana mungkin ini terjadi?’ tanya orang-orang dewasa yang kebingungan. ’Bukankah masa kanak-kanak adalah waktu untuk bermain, waktu untuk bercanda dan bersenang-senang?’ Bagi banyak anak, jawabannya adalah tidak. ”Masa kanak-kanak sebagai masa untuk sepenuhnya bersenang-senang merupakan fiksi yang dibuat oleh orang dewasa,” kata Dr. Julius Segal. Kenyataan pahit ini dibenarkan oleh ahli terapi anak bernama Joseph Lupo, ”Saya telah berpraktek selama dua puluh lima tahun. Dewasa ini, saya mendapati empat kali lipat banyaknya pasien anak-anak dan remaja yang depresi.”Apa penyebab stres pada anak-anak yang belum pernah terjadi sebelumnya? Apa tanda-tanda peringatannya? Bagaimana anak-anak yang mengalami?


Kecil Orangnya, Besar Stresnya
”Kesedihan anak-anak memang kecil, itu pasti, namun anak-anak itu sendiri juga kecil.”—Percy Bysshe Shelley.LIHATLAH gambar topi tinggi di bawah ini. Sekilas, tinggi topi ini tampak lebih panjang daripada lingkar pinggir topi. Akan tetapi, kenyataannya, tinggi dan lebarnya sama. Dimensi dapat dengan mudah disalahtafsirkan.Demikian pula sama mudahnya bagi orang dewasa untuk menyalahtafsirkan dimensi stres seorang anak. ’Masalah anak-anak begitu sepele,’ demikian sanggah beberapa orang. Namun pemikiran demikian bersifat menipu. ”Orang dewasa hendaknya tidak menafsirkan masalah menurut ukurannya,” demikian peringatan buku Childstress!, ”melainkan menurut ukuran penderitaan yang diakibatkannya.


Dalam banyak kasus, proporsi penderitaan anak ternyata lebih besar daripada yang disadari orang-orang dewasa. Ini ditegaskan oleh suatu penelitian yang di dalamnya para orang-tua diminta memperkirakan keadaan emosi anak-anak mereka. Hampir semua menjawab bahwa anak-anak mereka ”sangat bahagia”. Namun, sewaktu ditanya tanpa kehadiran orang-tua mereka, kebanyakan anak menyatakan diri mereka ”tidak bahagia” dan bahkan ”sangat sedih”. Anak-anak menghadapi ketakutan yang sangat diremehkan orang-tua.

Dalam penelitian lain, yang dipimpin oleh Dr. Kaoru Yamamoto, sekelompok anak diminta untuk memberi nilai atas 20 peristiwa kehidupan dengan memakai skala stres yang mencapai angka tujuh. Kemudian, sekelompok orang dewasa memberi nilai atas peristiwa yang sama tersebut berdasarkan perkiraan mereka tentang bagaimana seorang anak akan menilainya. Orang-orang dewasa tersebut salah menafsir 16 dari antara 20 hal! ”Kita semua menyangka bahwa kita mengenal anak-anak kita,” demikian kesimpulan Dr. Yamamoto, ”namun sudah terlalu sering kita tidak benar-benar melihat atau mendengar, maupun memahami, apa yang sebenarnya meresahkan mereka.

”Orang-tua harus belajar untuk memandang pengalaman hidup dari perspektif yang baru: melalui mata anak-anak. Ini sangat penting khususnya dewasa ini. [Buku Panduan Kehidupan] menubuatkan bahwa ”pada hari-hari terakhir akan terjadi masa-masa berbahaya dengan stres yang sangat besar . . . sulit dihadapi dan sulit ditanggung”* Anak-anak tidak kebal terhadap stres semacam itu; sering kali, mereka adalah korban utamanya. Meskipun beberapa stres anak-anak hanyalah ”berkaitan dengan masa muda”, yang lain-lain tidak lazim dan layak mendapat perhatian khusus.#

Melalui Mata Seorang Anak
Kematian Orang-Tua = Perasaan Bersalah. Sewaktu mengenang gagasan yang membuat sang anak untuk sementara waktu marah terhadap orang-tuanya, seorang anak mungkin memendam perasaan bersalah atas kematian orang-tuanya.


Perceraian = Diterlantarkan. Logika seorang anak mengatakan bahwa jika orang-tua dapat berhenti mengasihi satu sama lain, mereka pun dapat berhenti mengasihi dia.

Alkoholisme = Ketegangan. Claudia Black menulis, ”Lingkungan sehari-hari yang berisi ketakutan, penyia-nyiaan, penyangkalan, sikap tidak konsisten, dan kekerasan yang sudah atau dapat terjadi yang timbul dalam rumah tangga seorang pecandu alkohol [dan narkotik] sama sekali bukan lingkungan yang fungsional dan sehat.”

Pertengkaran Orang-tua = Ketakutan. Suatu penelitian terhadap 24 siswa menyingkapkan bahwa pertengkaran orang-tua sangat menimbulkan stres sehingga mengakibatkan muntah-muntah, tanda-tanda ketegangan pada wajah, kerontokan rambut, naik atau turunnya berat badan, dan bahkan bisul-bisul.


Terlalu Banyak Dituntut = Frustrasi. ”Ke mana pun anak-anak berpaling,” tulis Mary Susan Miller, ”mereka tampaknya harus berlari sekuat tenaga dalam perlombaan yang disodorkan orang-tua mereka.” Karena ditekan untuk menjadi yang terbaik di sekolah, di rumah, dan bahkan sewaktu bermain, sang anak tidak pernah menang dan perlombaan tidak pernah berakhir.

Mendapat Adik = Kehilangan. Sekarang, karena sang anak harus berbagi perhatian dan kasih sayang orang-tuanya, ia mungkin merasa telah kehilangan orang-tua sebaliknya daripada mendapat adik.

Sekolah = Kekhawatiran Berpisah. Bagi Amy, meninggalkan ibunya dan pergi ke sekolah rasanya sangat pedih dan menekan.

Kesalahan = Penghinaan. Karena memiliki citra diri yang labil, anak-anak ”cenderung memandang segala sesuatu jauh melampaui porsinya”, kata Dr. Ann Epstein. Ia mendapati bahwa penghinaan adalah salah satu penyebab umum bunuh diri di kalangan anak-anak.Cacat = Frustrasi. Selain ejekan dari teman-teman sebaya yang tidak berbelas kasihan, seorang anak yang cacat fisik atau mental mungkin harus menanggung ketidaksabaran guru dan anggota keluarga yang menyatakan kekecewaan atas apa yang sama sekali di luar kesanggupannya.

Orang-Tua yang Suka Menganiaya—Penyebab Stres yang Paling Utama
”Karena [anak-anak] tidak banyak memiliki sudut pandangan di luar keluarga, hal-hal yang mereka pelajari di rumah berkenaan diri mereka sendiri dan orang-orang lain menjadi kebenaran universal yang terpatri amat dalam di pikiran mereka.”—Dr. Susan Forward.

SEORANG tukang tembikar mengambil segumpal tanah liat yang tak berbentuk, menambahkan air secukupnya, dan membentuknya menjadi sebuah bejana yang indah. Demikian pula, orang-tua membentuk sudut pandangan seorang anak mengenai dirinya sendiri dan mengenai dunia. Dengan kasih, bimbingan, dan disiplin, sang anak berkembang menjadi orang dewasa yang stabil.Akan tetapi, sudah terlalu sering, kesan pada pikiran dan hati seorang anak dibentuk oleh [pola asuh] orang-tua yang suka menganiaya. Penganiayaan emosi, fisik, dan seksual menciptakan pola pemikiran rancu yang bersifat permanen dan sukar dibentuk kembali.

Penganiayaan Emosi
Kata-kata dapat memukul lebih keras daripada tinju. ”Seingat saya, tidak pernah satu hari pun [ibu saya] tidak menyatakan keinginannya bahwa lebih baik saya tidak usah dilahirkan,” kata Jason. Karen mengenang, ”Saya selalu dicekoki kesan bahwa saya anak nakal atau kurang baik.”Anak-anak biasanya akan percaya apa yang dikatakan orang tentangnya. Jika seorang anak lelaki terus-menerus dipanggil si bodoh, maka ia mungkin akhirnya akan merasa diri bodoh. Jika seorang anak perempuan dikatakan tidak berguna, ia mungkin benar-benar mempercayai hal itu. Anak-anak memiliki perspektif yang terbatas dan sering tidak dapat memahami mana keterangan yang akurat dan mana keterangan yang sangat dibesar-besarkan atau yang keliru.


Penganiayaan Fisik
Joe mengenang ayahnya yang suka menganiaya secara fisik, ”Ayah akan mulai meninju saya hingga kepala saya terbentur ke dinding. Ia terus memukuli saya begitu keras sehingga saya pusing . . . Bagian yang paling mengerikan dari hal itu adalah saya tidak pernah tahu apa yang telah membuatnya begitu marah!”Jake secara rutin dipukuli oleh ayahnya.

Sekali waktu ketika ia dipukuli, saat Jake baru berusia enam tahun, tangannya patah. ”Saya tidak sudi menangis di hadapan ayah atau adik-adik perempuan saya atau Ibu,” kenang Jake. ”Itulah satu-satunya kebanggaan saya yang tersisa.”Buku Strong at the Broken Places menyatakan bahwa penganiayaan fisik semasa kanak-kanak sebanding dengan ”mengalami kecelakaan mobil setiap hari, setiap minggu atau setiap bulan”. Penganiayaan demikian mengajarkan kepada sang anak bahwa dunia ini tidak aman dan bahwa tak seorang pun dapat dipercaya. Lagi pula, kekerasan sering menghasilkan kekerasan. ”Jika anak tidak dilindungi dari si penganiaya,” demikian peringatan majalah Time, ”maka masyarakat suatu hari kelak harus dilindungi dari anak-anak.”

Penganiayaan Seksual
Menurut suatu perkiraan, 1 dari antara 3 anak perempuan dan 1 dari antara 7 anak lelaki telah dipaksa mengalami kekerasan seksual menjelang usia 18 tahun. Kebanyakan dari anak-anak ini menderita secara diam-diam. ”Bagaikan prajurit yang hilang dalam pertempuran,” kata buku The Child in Crisis, ”mereka terus hilang selama bertahun-tahun dalam belantara pribadi dari rasa takut dan bersalah.


””Saya sangat benci kepada Ayah karena telah menganiaya saya, namun saya merasa sangat bersalah karena membenci dia,” kata Louise. ”Saya merasa sangat malu karena seorang anak seharusnya mengasihi orang-tuanya dan saya tidak selalu dapat berbuat itu.” Perasaan bingung semacam itu dapat dimaklumi apabila pelindung utama sang anak berubah menjadi seorang pelaku kejahatan. Beverly Engel bertanya dalam buku The Right to Innocence, ”Bagaimana kita dapat mengakui bahwa orang-tua kita sendiri, seseorang yang seharusnya mengasihi dan menyayangi kita, tidak begitu mempedulikan kita?

”Penganiayaan seksual dapat menyimpangkan seluruh pandangan hidup sang anak. ”Setiap orang dewasa yang pernah dianiaya semasa kecil membawa perasaan yang telah tertanam dalam yaitu merasa diri sangat tidak mampu, tidak berharga dan sama sekali buruk, yang dibawanya dari masa kecilnya,” tulis Dr. Susan Forward.

Pengaruhnya Tidak Dapat Lenyap Begitu Saja
”Bukan hanya tubuh sang anak yang dianiaya atau ditelantarkan,” tulis peneliti bernama Linda T. Sanford. ”Keluarga-keluarga yang terganggu menganiaya pikiran sang anak.” Apabila seorang anak dianiaya, secara emosi, fisik, maupun seksual, ia akan tumbuh dengan perasaan bahwa dirinya tidak dikasihi dan tidak berharga.

Jason, yang telah disebutkan sebelumnya, memiliki harga diri yang begitu rendah sebagai seorang dewasa sehingga ia dinyatakan berpotensi melakukan bunuh diri. Secara tidak perlu ia menempatkan dirinya pada situasi yang mengancam kehidupannya, ia menilai kehidupannya sebagaimana ibunya telah ajarkan, ’Kamu seharusnya tidak pernah dilahirkan.


Mengenang pengaruh penganiayaan secara fisik semasa kanak-kanak, Joe mengatakan, ”Pengaruhnya tidak dapat lenyap begitu saja hanya karena Anda pindah rumah atau menikah. Saya selalu takut akan sesuatu, dan saya membenci diri saya karena hal itu.” Tekanan dari penganiayaan fisik di dalam rumah tangga menyebabkan banyak anak bertumbuh dengan harapan-harapan negatif dan pembelaan yang kaku yang membatasi sebaliknya daripada melindungi.

Bagi Connie, inses menciptakan citra diri yang kacau yang semakin parah di masa dewasanya, ”Saya masih sering merasa bahwa orang-orang dapat meneropong ke dalam diri saya dan melihat betapa menjijikkannya saya.”Segala bentuk penganiayaan memberi pelajaran yang beracun yang dapat tertanam amat dalam ketika seseorang telah dewasa. Memang, apa yang dipelajari dapat dilupakan. Tak terhitung banyaknya korban yang telah pulih dari penganiayaan semasa kanak-kanak membenarkan fakta tersebut. Tetapi alangkah jauh lebih baik apabila orang-tua menyadari bahwa semenjak anak mereka lahir, mereka sedang membentuk banyak dari konsep sang anak terhadap dirinya sendiri dan dunia. Kesejahteraan fisik dan emosi seorang anak sebagian besar berada di tangan orang-tuanya.


Membaca Tanda-Tanda Stres pada Diri Anak Anda
”Perasaan-perasaan stres jarang muncul begitu saja: Mereka biasanya adalah reaksi terhadap peristiwa atau keadaan tertentu.”—Dr. Lilian G. Katz.
JIKA seorang pilot menerbangkan pesawat udara di malam yang gelap dan berkabut, bagaimana ia dapat mengetahui arah tujuannya? Semenjak lepas landas hingga mendarat, ia mengandalkan tanda-tanda. Lebih dari seratus instrumen tersedia pada kokpit pesawat udara besar, masing-masing memberikan informasi penting dan membuat sang pilot waspada terhadap problem-problem yang mungkin timbul.


Bertumbuh di dalam dunia kita yang dipenuhi stres ini bagaikan terbang menembus badai. Bagaimana orang-tua dapat melakukan penerbangan yang mulus, semenjak bayi hingga dewasa? Karena kebanyakan anak tidak mengungkapkan stres mereka dengan kata-kata, orang-tua harus belajar membaca tanda-tanda.

Tubuh ”Berbicara”Stres anak-anak sering kali disampaikan melalui tubuhnya. Reaksi-reaksi psikosomatik, termasuk problem pencernaan, sakit kepala, kelelahan, gangguan tidur, dan masalah sewaktu buang air, mungkin merupakan tanda-tanda bahwa ada sesuatu yang tidak beres.^


Kehilangan pendengarannya merupakan klimaks dari suatu periode kesepian yang berat bagi Sharon. Sewaktu Amy pergi ke sekolah, kejang pada perutnya timbul karena merasa takut dipisahkan dari ibunya. John mengalami sembelit karena tegang akibat menyaksikan pertengkaran yang sengit antara kedua orang-tuanya.Penganiayaan seksual memiliki dampak fisik bagi Ashley yang berusia sepuluh tahun. ”Saya ingat bahwa saya tidak masuk sekolah selama satu minggu [setelah pemerkosaan] karena saya sakit,” kenangnya. Buku When Your Child Has Been Molested menjelaskan, ”Beban dari mengalami penganiayaan dapat menjadikan anak tersebut stres dan tidak sehat.” Dari antara tanda-tanda fisik yang mungkin timbul karena trauma itu adalah luka-luka, nyeri pada waktu buang air, sakit perut yang berulang kali kambuh, sakit kepala, dan nyeri tulang atau otot yang tidak jelas penyebabnya.

Sewaktu penyakit tampak bersifat psikosomatis, orang-tua hendaknya menanggapi tanda itu dengan serius. ”Tidak soal sang anak sedang berpura-pura atau sungguh-sungguh sakit tidaklah penting,” kata Dr. Alice S. Honig. ”Yang penting adalah masalah yang mendasarinya.”

Stres dalam Kandungan?
Bahkan janin dapat mendeteksi stres, ketakutan, dan khawatir yang dikomunikasikan ibunya melalui perubahan kimiawi dalam aliran darah. ”Janin yang sedang berkembang merasakan setiap ketegangan yang dirasakan wanita yang mengandungnya,” tulis Linda Bird Francke dalam buku Growing Up Divorced. ”Meskipun sistem saraf janin dan sang wanita tidak berhubungan langsung, ada komunikasi satu arah antara keduanya yang tidak dapat diabaikan.”


Ini mungkin menjelaskan mengapa, menurut majalah Time, diperkirakan 30 persen bayi usia 18 bulan ke bawah menderita kesulitan yang berkaitan dengan stres, mulai dari penarikan diri secara emosi hingga serangan kecemasan. ”Bayi-bayi yang dilahirkan oleh wanita yang tidak bahagia dan tertekan sering kali juga tidak bahagia dan tertekan,” demikian kesimpulan Francke.


Tindakan Lebih Nyata daripada Kata-Kata
Perubahan mendadak dalam perilaku sering kali merupakan seruan minta tolong. Buku Giving Sorrow Words mengatakan, ”Sama seperti seorang siswa yang baik mulai mendapatkan nilai buruk sehingga membutuhkan perhatian, demikian pula dengan seorang anak yang dulunya bengal tiba-tiba menjadi seperti malaikat.”Kebiasaan berbohong Timmy yang berusia tujuh tahun mendadak timbul sewaktu ibunya menjadi sangat sibuk dengan pekerjaannya. Perilaku kasar Adam yang berusia enam tahun mendadak timbul karena merasa tidak mampu di sekolah. Carl yang berusia tujuh tahun mulai mengompol lagi, memperlihatkan kerinduannya akan kasih-sayang orang-tua, yang sekarang kelihatannya beralih kepada adik perempuannya.


Perilaku yang merusak diri sendiri khususnya mengganggu. Kecelakaan yang sering dialami Sara yang berusia dua belas tahun tidak dapat disebut sekadar kecerobohan. Sejak perceraian orang-tuanya, menyakiti diri sendiri adalah cara yang tanpa sadar dilakukannya dalam upaya merebut kembali kasih-sayang ayahnya yang hilang. Tidak soal menyakiti diri sendiri bentuknya sederhana atau serius seperti upaya bunuh diri, penyerangan terhadap diri melalui perilaku menyakiti diri sendiri merupakan suatu tanda stres berat.

Article by Official Web Site of Jehovah’s Witnesses IKUTI SELENGKAPNYA UNTUK SOLUSINYA—BAHWA KETERANGAN YANG BERASAL DARI BUKU-PANDUAN KEHIDUPAN DAPAT MEMBERIKAN JALAN KELUAR

Link Selengkapnya tentang "Child Abuse"
Related topic: Bagaimana Menjadi Ayah yang Baik /What Makes a Good Father?


Gambar ilustrasi sebagian besar diluar sumber publikasi Awake! yang diambil dari Photo Researchers dan DeviantArt.