Apa yang Bill sebut sebagai solusi yang mudah untuk kehamilan yang tidak direncanakan dan tidak diinginkan sudah umum diterima. Menurut laporan sebuah penelitian global tahun 2007, diseluruh dunia diperkirakan terjadi 42 juta aborsi yang disengaja, atau pengguguran kandungan, pada tahun 2003. Wanita-wanita yang melakukan aborsi berasal dari segala macam suku dan kebangsaan, dari berbagai latar agama, dan dari segala tingkat ekonomi, pendidikan dan usia antara puber dan menopause. Seandainya Anda mengalami kehamilan yang tidak diinginkan, apa yang Anda lakukan? Mengapa begitu banyak orang memilih aborsi?
Saya Merasa Tidak Ada Pilihan Lain"
“Saya baru saja mengalami kehamilan yang sulit serta persalinan yang berat, dan ada segunung problem keuangan dan keluarga,” jelas seorang wanita berusia 35 tahun. “Lalu, enam minggu setelah melahirkan, saya hamil lagi. Kami memutuskan untuk aborsi. Dalam hati, saya merasa salah, namun saya merasa tidak ada pilihan lain.”
Para wanita memilih aborsi karena berbagai alasan, mulai dari problem finansial sampai hubungan yang rusak dan mungkin disertai penganiaayan, sehingga mereka sama sekali tidak ingin ada ikatan lagi dengan pria. Atau, kehamilan tersebut semata-mata tidak sesuai dengan rencana si wanita atau suatu pasangan.Adakalanya, orang memilih aborsi demi melindungi reputasi. Itulah yang terjadi dalam kasus yang dilaporkan oleh dr. Susan Wicklund dalam bukunya This Common Secret—My Journey as an Abortion Doctor. Seorang pasiennya yang berniat melakukan aborsi mengakui, “Orang tua saya sangat religius,….. Kalau saya punya bayi di luar nikah, nama baik mereka akan tercoreng. Semua teman mereka jadi tahu bahwa putri mereka telah bedosa.”
Dr. Wicklund kemudian bertanya, “Oke, di mata mereka Anda telah berdosa, lalu bagaimana pandangan mereka tentang aborsi? Gadis itu mengakui, “Oh, aborsi, Itu sama sekali tidak bisa di ampuni . Tapi, ini tidak begitu parah karena akan tetap menjadi rahasia. Jika saya melakukan aborsi, teman-teman [orang tua saya] di gereja tidak akan pernah tahu.”
Apa pun situasinya, biasanya keputusan untuk mengakhiri kehamilan dengan sengaja bukanlah keputusan yang mudah. Seringkali, itu sangat menyakitkan . Namun, apakah aborsi itu solusi yang bebas masalah?
Pertimbangkan Konsekuensinya:
Sebuah penelitian tahun 2004 atas 331 wanita Rusia dan 217 wanita Amerika yang melakukan aborsi menyingkapkan bahwa sekitar setengah dari kedua kelompok merasa terganggu secara emosi setelah aborsi. Hampir 50 persen wanita Rusia dan hampir 80 persen wanita Amerika itu merasa “bersalah” atas prosedur tersebut. Lebih dari 60 persen wanita Amerika ‘tidak bisa memaafkan diri mereka’. Mengingat perasaan bersalah merupakan yang umum dialami—bahkan oleh orang-orang yang menganggap diri tidak terlalu religius—mengapa begitu banyak wanita muda masih melakukan aborsi?
========================================================
MELAHIRKAN VERSUS ABORSI:
Sebuah penelitian tahun 2006 mengulas riwayat hidup banyak wanita yang hamil semasa remaja. Separuhnya melahirkan, dan separuhnya melakukan aborsi. Penelitian itu menyimpulkan bahwa wanita yang melahirkan “lebih sedikit kemungkinannya menerima layanan konseling psikologis, lebih sedikit problem tidurnya, dan lebih kecil kemungkinannya untuk mengisap mariyuana bila dibanding dengan [wanita yang melakukan] aborsi”.—Journal of Youth and Adolescence.
Laporan lain memberikan “hasil dari empat penelitian yang sangat ekstensif”. Apa yang diperlihatkan keempat penelitian tersebut? “Para wanita dengan riwayat aborsi mengalami problem kesehatan mental yang lebih tinggi dalam beragam bentuk dibandingkan para wanita tanpa riwayat aborsi.”—Report of the Dakota Task Force to Strudy Abortion—2005.
========================================================
Mereka sering kali mendapat tekanan yang hebat untuk melakukan aborsi. Orang tua, teman hidup, atau teman-teman yang bermaksud baik menganjurkan aborsi kerena menganggapnya sebagai pilihan yang lebih baik. Akibatnya, orang bisa mengambil keputusan yang terburu-buru dan tanpa pengetahuan yang memadai. “Namun setelah tekanan untuk membuat keputusan merada dan aborsinya selesai,” Jelas Dr. Priscilla Coleman, seorang pakar di bidang risiko kesehatan mental akibat aborsi, “kemampuan berpikir pada wanita kembali normal, sering kali diikuti perasaan bersalah, kesedihan, dan penyesalan yang dalam.”
Penyesalan ini berfokus pada pertanyaan: Apakah aborsi itu mengakhiri suatu kehidupan yang sudah ada? Laporan oleh South Dakota Task Force to Study Abortion menyimpulkan bahwa banyak wanita hamil yang mempertimbangkan aborsi “telah keliru mengira bahwa yang disingkirkan hanyalah ‘jaringan’, dan menyatakan bahwa mereka tidak bakal melakukan aborsi seadainya mereka diberi tahu kebenarannya”.
Setelah meninjau “kesaksian mencengangkan serta memilukan hati” dari 1.940 wanita yang telah melakukan aborsi, penelitian itu menyimpulkan, “Banyak dari antara para wanita ini marah karena sangat sedih kehilangan anak yang kata orang tidak pernah ada,” Selain itu, dinyatakan bahwa “setelah sang wanita tahu bahwa ia telah membunuh anaknya, dampak psikologisnya sering kali sangat mengahancurkan”.
Namun, apa kebenarannya? Apakah yang disingkirkan hanya suatu jaringan tubuh seorang wanita yang hamil? Apakah bayi yang belum lahir itu sebenarnya adalah manusia yang hidup sewaktu masih di dalam rahim?
Kapan Kehidupan Manusia dimulai? saya berusia 17 tahun dan sedang hamil 7 ½ bulan ketika ia memutuskan untuk melakukan aborsi dengan larutan garam,” jelas Giannna.* Ia menambahkan, “Sayalah orang yang ia gugurkan. Namun, saya ternyata tidak mati.”
Laporan lain memberikan “hasil dari empat penelitian yang sangat ekstensif”. Apa yang diperlihatkan keempat penelitian tersebut? “Para wanita dengan riwayat aborsi mengalami problem kesehatan mental yang lebih tinggi dalam beragam bentuk dibandingkan para wanita tanpa riwayat aborsi.”—Report of the Dakota Task Force to Strudy Abortion—2005.
========================================================
Mereka sering kali mendapat tekanan yang hebat untuk melakukan aborsi. Orang tua, teman hidup, atau teman-teman yang bermaksud baik menganjurkan aborsi kerena menganggapnya sebagai pilihan yang lebih baik. Akibatnya, orang bisa mengambil keputusan yang terburu-buru dan tanpa pengetahuan yang memadai. “Namun setelah tekanan untuk membuat keputusan merada dan aborsinya selesai,” Jelas Dr. Priscilla Coleman, seorang pakar di bidang risiko kesehatan mental akibat aborsi, “kemampuan berpikir pada wanita kembali normal, sering kali diikuti perasaan bersalah, kesedihan, dan penyesalan yang dalam.”
Penyesalan ini berfokus pada pertanyaan: Apakah aborsi itu mengakhiri suatu kehidupan yang sudah ada? Laporan oleh South Dakota Task Force to Study Abortion menyimpulkan bahwa banyak wanita hamil yang mempertimbangkan aborsi “telah keliru mengira bahwa yang disingkirkan hanyalah ‘jaringan’, dan menyatakan bahwa mereka tidak bakal melakukan aborsi seadainya mereka diberi tahu kebenarannya”.
Setelah meninjau “kesaksian mencengangkan serta memilukan hati” dari 1.940 wanita yang telah melakukan aborsi, penelitian itu menyimpulkan, “Banyak dari antara para wanita ini marah karena sangat sedih kehilangan anak yang kata orang tidak pernah ada,” Selain itu, dinyatakan bahwa “setelah sang wanita tahu bahwa ia telah membunuh anaknya, dampak psikologisnya sering kali sangat mengahancurkan”.
Namun, apa kebenarannya? Apakah yang disingkirkan hanya suatu jaringan tubuh seorang wanita yang hamil? Apakah bayi yang belum lahir itu sebenarnya adalah manusia yang hidup sewaktu masih di dalam rahim?
Kapan Kehidupan Manusia dimulai? saya berusia 17 tahun dan sedang hamil 7 ½ bulan ketika ia memutuskan untuk melakukan aborsi dengan larutan garam,” jelas Giannna.* Ia menambahkan, “Sayalah orang yang ia gugurkan. Namun, saya ternyata tidak mati.”
Kesaksian ini diberikan pada tahun 1996 oleh Gianna yang berusia 19 tahun di depan sebuah komite pemerintah Amerika Serikat mengenai aborsi. Ketika Gianna berada dalam rahim ibunya selama tujuh setengah bulan, bagian-bagian tubuhnya sudah berkembang lengkap. Anda mungkin setuju bahwa sebenarnya ia seorang manusia, karena kehidupannya sebagai manusia berlanjut di luar rahim.
Nah, kalau begitu, bagaimana ketika Gianna masih sebagai embrio berusia lima minggu, dengan ukuran panjang satu sentimeter? Memang, bagian-bagian tubuhnya belum terbentuk sepenuhnya, namun fondasi untuk system sarafnya, termasuk otaknya, sudah terbentuk. Ia memiliki detak jantung 80 kali per menit yang memompakan darah melalui pembuluh. Jadi, jika Gianna sudah menjadi manusia pada usia tujuh setengah bulan di dalam rahim, tidakkah masuk akal untuk menyimpulkan bahwa ia sudah menjadi manusia pada usia lima minggu—meski belum selengkap manusia berusia tujuh setengah bulan?
Perkembangan semua bagian embrio dimulai pada saat pembuahan, ketika ovum, atau sel telur wanita, dibuahi oleh sel sperma pria. Karena kemajuan baru dalam teknologi, para pakar bisa mengamati perubahan menakjubkan yang terjadi di dalam inti telur bersel-tunggal yang telah di buahi. Molekul-molekul yang membentuk DNA (asam deoksiribonukleat) sang ayah dan sang ibu berpadu membentuk kehidupan manusia yang belum pernah ada.
Sel tunggal itu memulai proses menakjubkan, yakni membangun manusia yang utuh. Proyek “pembangunan” ini ditentukan oleh gen-gen kita, yaitu segmen-segmen DNA. Gen-gen tersebut mengontrol hampir segala sesuatu mengenai diri kita, seperti tinggi badan, ciri-ciri wajah, warna mata dan rambut, dan ribuan sifat lainnya.
Belakangan, saat sel yang mula-mula itu membelah, “cetak biru” genetis yang lengkap digandakan ke setiap sel baru. Yang menakjubkan, setiap sel ini di program menjadi sel apa pun yang diperlukan. Ini termasuk jarigan hati, otak, tulang, kulit, dan bahkan jaringan transparan untuk mata kita. Tidak heran, pemrograman awal untuk perkembangan baru yang unik yang terjadi di dalam sel yang semula itu sering disebut “keajaiban”.
“Manusia sudah sepenuhnya deprogram untuk pertumbuhan dan perkembangan selama seluruh kehidupannya sejak ia masih satu sel,” lapor Dr. David Fu-Chi Mark, seorang biolog molekuler yang dihormati. Ia menyimpulkan, “Tidak ada lagi keraguan apa pun bahwa setiap manusia benar-benar unik sejak awal mula kehidupannya pada saat pembuahan.”
Sel tunggal itu memulai proses menakjubkan, yakni membangun manusia yang utuh. Proyek “pembangunan” ini ditentukan oleh gen-gen kita, yaitu segmen-segmen DNA. Gen-gen tersebut mengontrol hampir segala sesuatu mengenai diri kita, seperti tinggi badan, ciri-ciri wajah, warna mata dan rambut, dan ribuan sifat lainnya.
Belakangan, saat sel yang mula-mula itu membelah, “cetak biru” genetis yang lengkap digandakan ke setiap sel baru. Yang menakjubkan, setiap sel ini di program menjadi sel apa pun yang diperlukan. Ini termasuk jarigan hati, otak, tulang, kulit, dan bahkan jaringan transparan untuk mata kita. Tidak heran, pemrograman awal untuk perkembangan baru yang unik yang terjadi di dalam sel yang semula itu sering disebut “keajaiban”.
“Manusia sudah sepenuhnya deprogram untuk pertumbuhan dan perkembangan selama seluruh kehidupannya sejak ia masih satu sel,” lapor Dr. David Fu-Chi Mark, seorang biolog molekuler yang dihormati. Ia menyimpulkan, “Tidak ada lagi keraguan apa pun bahwa setiap manusia benar-benar unik sejak awal mula kehidupannya pada saat pembuahan.”
Manusia di Dalam Rahim?
Sejak saat pembuahan di dalam rahim, si anak adalah manusia yang tersendiri, bukan sekadar bagian dari jaringan sang ibu. Tubuh sang ibu menganggap si anak sebagai benda asing. Seandainya tidak ada “lingkungan yang terlindung” di dalam rahim, si anak akan segera di tolak oleh tubuh sang ibu. Kehidupan manusia yang baru ini—dipisahkan dari ibunya oleh ruang pelindung—adalah manusia dengan sidik jari DNA yang tersendiri.
Ada yang berpendapat bahwa karena tubuh wanita secara spontan menggugurkan banyak telur yang telah dibuahi karena telur-telur itu tidak normal, sah-sah saja jika dokter menggugurkan kandungan. Namun, tentu kematian spontan sama sekali berbeda dengan pembunuhan yang disengaja. Di sebuah negeri di Amerika Selatan, 71 dari 1.000 anak mati pada umur satu tahun. Tetapi, hanya karena begitu banyak anak mati dini, apakah dibenarkan untuk membunuh seorang anak di bawah usia satu tahun? Tentu saja tidak!
Ada yang berpendapat bahwa karena tubuh wanita secara spontan menggugurkan banyak telur yang telah dibuahi karena telur-telur itu tidak normal, sah-sah saja jika dokter menggugurkan kandungan. Namun, tentu kematian spontan sama sekali berbeda dengan pembunuhan yang disengaja. Di sebuah negeri di Amerika Selatan, 71 dari 1.000 anak mati pada umur satu tahun. Tetapi, hanya karena begitu banyak anak mati dini, apakah dibenarkan untuk membunuh seorang anak di bawah usia satu tahun? Tentu saja tidak!
Menarik, (buku panduan kehidupan) menjelaskan bahwa kehidupan manusia sudah ada di dalam rahim.
Selengkapnya di link ini…….
Selengkapnya di link ini…….
Related Article [C-Link]: Diary of an Unborn Child
Salinan artikel dari Awake! Sumber informasi lihat situs resmi: watchtower.org
___________
* Aborsi dengan larutan garam dilakukan dengan menyuntikan larutan garam beracun ke dalam rahim sang ibu, yang ditelan si bayi; biasanya kematian terjadi dalam waktu dua jam. Sang ibu mulai bersalin kira-kira 24 jam kemudian dan melahirkan bayi yang mati atau—dalam beberapa kasus—yang sekarat.