Tremoctopus. Pasangan yang Ganjil

Photo D. Paul: Gurita Selimut Jantan
Para ilmuwan kelautan yang menyelam pada malam hari di laut yang dalam jauh dari Karang Penghalang Besar Australia belum lama ini untuk pertama kalinya berjumpa dengan gurita selimut jantan yang hidup. Apa yang menarik dari peristiwa ini?

Gambar titik hitam ditengah yang diperbesar
(dibadan gurita betina) memperlihatkan ukuran gurita jantan. Jantan: panjangnya
3 cm;beratnya 0,3 gram. Sedangkan betina: panjangnya 2 meter; beratnya 10 kilogram
.

Ada alasan yang tepat mengapa gurita selimut ini digambarkan sebagai ”binatang besar yang jantan dan betinanya paling kontras dalam hal ukuran”. Betinanya tumbuh hingga sepanjang dua meter dan seberat sepuluh kilogram. Tetapi, jantannya hanya sepanjang tiga sentimeter dan seberat 0,3 gram! Malah, jantannya cuma seukuran pupil mata betinanya. Itu berarti si betina 40.000 kali lebih berat daripada si jantan, perbedaan ukuran yang tampaknya paling ekstrem dalam dunia binatang nonmikroskopis. Gurita ini hidup di laut lepas, dan hingga saat ini, yang dapat diamati hanyalah gurita jantan mati dan gurita betina hidup yang tertangkap oleh jaring nelayan.

Bagaimana dua makhluk ini, yang ukurannya begitu berbeda, berkembang biak? Salah satu dari kedelapan lengan gurita jantan memiliki rongga. Setelah si jantan menemukan gurita betina, lengannya terisi sperma. Lengan itu lalu patah dan masuk ke dalam rongga mantel si betina, ruang besar dalam tubuhnya. Lengan itu diam di sana hingga si betina memencetnya dan mengeluarkan spermanya untuk membuahi telur-telurnya.

Untuk mengkompensasi ukurannya, si jantan mempertahankan diri dengan tentakel yang tampaknya ia curi dari ubur-ubur Portuguese man-of-war dan ia genggam dengan alat penyedot pada lengan atasnya. Namun, tentakel ini tidak menyelamatkan dirinya karena sewaktu tugasnya terhadap pasangannya selesai, ia mati. Tak heran bahwa para ilmuwan terkagum-kagum oleh temuan mereka!

Apa pun alasan di balik perbedaan ukuran yang sangat besar dari gurita yang ganjil ini, kata-kata (Buku Panduan Kehidupan semua mahluk) memang benar, ”Laut ini begitu besar dan luas, di sana ada binatang bergerak yang tidak terhitung banyaknya, makhluk-makhluk hidup, kecil maupun besar.”—Mazmur 104:25. Salinan dari publikasi Awake! terbitan 22 Januari 2005

Literatur tentang Tremoctopus Violaceus terfadapat di situs berbahasa Inggris [c-link] dan female blanked octopus dengan male banked octopus yang ditemukan di Great Barrier Reef, Australia, perbandingan ukuran keduanya di close-up untuk memperlhatkan bagian-bagian tentakel adalah 1 mm ; 5 cm (50 mm). Lihat gambar copy diatas.

Lihat koleksi Prof. Dr.Peter Wirtz untuk gurita selimut betina di situs www.tolweb.org/tremoctopus

Mengapa Zaman Ini Penuh Ledakan Amarah?

Kata orang (disebuah situs) beginilah
cara bijak melampiaskan amarah

SEORANG pria ditembak mati sewaktu sedang duduk-duduk di sebuah bar di Praha, Republik Ceko. Alasannya? Si penembak terganggu karena sang korban menyetel walkman-nya keras-keras. Seorang pengendara dipukuli hingga tewas dengan tongkat hockey di sebuah persimpangan jalan di Cape Town, Afrika Selatan. Si penyerang rupanya kesal karena sang korban telah menyoroti dia dengan lampu jauh mobilnya. Seorang perawat berkebangsaan Inggris yang tinggal di Australia terkejut sewaktu pintu depan rumahnya ditendang oleh mantan kekasihnya yang marah; pria itu menyiraminya dengan bensin, membakarnya, lalu meninggalkannya agar tewas.

Apakah laporan-laporan tentang ledakan amarah—(di gedung Parlemen), di jalanan (orang-orang berdemo), di rumah, di pesawat terbang—dilebih-lebihkan? Atau, seperti retakan di dinding sebuah bangunan, apakah laporan-laporan itu hanya merupakan peringatan yang tampak dari sebuah masalah serius di baliknya? Fakta-fakta menunjukkan bahwa pernyataan kedualah yang benar.

Di jalanan, ”laporan insiden lalu lintas yang mengandung kekerasan telah meningkat hampir 7 persen per tahun sejak tahun 1990”, kata sebuah laporan Yayasan Keselamatan Berlalu lintas dari Asosiasi Otomobil Amerika (AAA) baru-baru ini.

Ledakan amarah di rumah juga merajalela. Misalnya, polisi di negara bagian New South Wales, Australia, melihat adanya 50 persen peningkatan kasus tindak kekerasan di dalam rumah tangga yang dilaporkan selama tahun 1998. Setiap satu dari empat wanita di negara itu yang menikah atau hidup bersama dengan seorang pria tanpa ikatan hukum telah menderita tindak kekerasan dari pasangannya.

Di pesawat terbang, kisahnya juga serupa. Adanya ancaman amukan dan serangan tiba-tiba oleh penumpang terhadap staf pesawat, penumpang lain, dan bahkan pilot telah mendorong beberapa perusahaan penerbangan utama untuk memperlengkapi kru kabin mereka dengan alat pengekang khusus yang dirancang untuk mengikat si penyerang di tempat duduknya.

Mengapa semakin banyak orang tampaknya tidak mampu menahan emosi mereka? Apa yang memicu aksi-aksi ledakan amarah ini? Apakah perasaan-perasaan ini memang dapat dikendalikan?
Mengapa Ledakan Amarah Meningkat?
Ledakan amarah berarti merasakan atau memperlihatkan kemarahan yang hebat. Aksi ledakan amarah terjadi sewaktu kemarahan dibiarkan menumpuk hingga akhirnya menghasilkan ledakan emosi yang penuh kekerasan. ”Perkelahian karena masalah lalu lintas jarang diakibatkan oleh satu insiden saja. Sebaliknya, perkelahian demikian tampaknya diakibatkan oleh sikap pribadi dan akumulasi stres dalam kehidupan sang pengendara,” kata David K. Willis, presiden Yayasan Keselamatan Berlalu lintas dari AAA.

Yang turut menyebabkan akumulasi stres ini adalah banjir informasi yang harus kita serap setiap hari. Sampul belakang buku Information Overload, karya David Lewis, mengomentari, ”Banyak pekerja sekarang tenggelam dalam banjir data . . . Karena kewalahan dengan informasi, . . . mereka menjadi stres, sembrono, lumpuh karena terlalu banyak menganalisis.” Sambil mengutip contoh banjir data ini, sebuah surat kabar berkomentar, ”Satu edisi hari kerja sebuah surat kabar berisi informasi yang sama banyaknya dengan informasi seumur hidup yang diperoleh seorang biasa pada abad ke-17.”

Apa yang kita masukkan ke mulut kita juga dapat turut memupuk kemarahan. Dua penelitian berskala besar telah memperlihatkan bahwa meningkatnya kebencian berkaitan dengan merokok, mengkonsumsi alkohol, dan makan makanan yang tidak sehat. Gaya hidup yang semakin umum ini meningkatkan stres dan frustrasi—frustrasi yang meledak dalam bentuk sumpah serapah, ketidaksabaran, dan sikap tidak toleran.

Tingkah Laku Buruk dan Film
Sewaktu mengomentari tentang hubungan antara tingkah laku yang kasar dan kejahatan, Dr. Adam Graycar, direktur Institut Kriminologi Australia (AIC), mengatakan, ”Fokus yang diperbarui tentang respek dan sopan santun mungkin merupakan salah satu langkah paling signifikan untuk mengurangi kejahatan ringan.” Institut ini menasihatkan untuk melatih kesabaran, memperlihatkan toleransi, dan menahan diri dari menyumpah serapah. Jika tidak dilakukan, katanya, perilaku tidak tertib dapat berubah menjadi perilaku kriminal. Ironisnya, bentuk relaksasi yang dipilih banyak orang untuk meredakan frustrasi dan stres justru memupuk sikap tidak toleran dan ledakan amarah. Bagaimana?

”Anak-anak dan orang dewasa berduyun-duyun ke bioskop untuk menonton adegan kematian dan penghancuran. Video kekerasan memiliki pangsa pasar yang sangat besar dan menggiurkan. ’Mainan perang-perangan’ tetap populer di kalangan anak-anak, meskipun tidak selalu disukai oleh orang tua. Kekerasan di televisi sangat disukai banyak orang, dewasa maupun anak-anak, dan televisi memiliki peranan penting dalam menyampaikan nilai-nilai budaya,” kata sebuah laporan AIC. Bagaimana hal ini berhubungan dengan ledakan amarah di jalanan dan di rumah? Laporan itu menyimpulkan, ”Sejauh mana suatu masyarakat menyetujui kekerasan, sejauh itu pulalah norma-norma individu dalam masyarakat itu akan berkembang.”

Dewasa ini, banyak individu berpendapat bahwa melampiaskan kemarahan hanyalah merupakan tanggapan alami terhadap stres, reaksi yang tak dapat dihindari oleh masyarakat kita yang penuh tekanan dan agresif. Kalau begitu, benarkah bahwa konsep populer: ”Jika sedang marah, lampiaskan saja”, memang merupakan nasihat yang baik?

Haruskah Ledakan Amarah Dikendalikan?
Seperti halnya gunung berapi yang meletus mengakibatkan kekacauan pada kehidupan di sekitarnya, demikian pula, orang yang mengekspresikan kemarahan yang besar mencelakakan orang-orang di sekitarnya. Ia juga berisiko merusak dirinya. Mengapa demikian? ”Melampiaskan kemarahan mengakibatkan agresi yang bahkan lebih besar lagi,” kata The Journal of the American Medical Association (JAMA). Menurut riset, pria yang suka melampiaskan kemarahan ”lebih besar kemungkinan meninggal pada usia 50 tahun daripada orang-orang yang tidak melakukannya”.

Asosiasi Jantung Amerika (AHA) menyatakan hal yang serupa, ”Pria yang melampiaskan ledakan kemarahan berisiko dua kali lipat terkena stroke daripada pria yang mengendalikan emosi mereka.” Peringatan ini berlaku bagi pria maupun wanita.

Nasihat apa yang benar-benar jitu? Perhatikanlah kemiripan antara nasihat dari para pakar sekuler dan nasihat dari buku pedoman tentang hubungan antarmanusia yang paling luas didistribusikan. Disini [c-link]

SUKA DAMAI PRAKTISKAH? [c-link]

Senyum itu Sangat Penting (Blurb)


Senyum itu Sangat Penting
”Senyum adalah cara terbaik untuk mendapatkan teman serta mempengaruhi orang,” lapor The Times dari London. Survei nasional yang diadakan untuk Pos Kerajaan menyingkapkan bahwa hal pertama yang paling diperhatikan orang tentang seseorang adalah senyumnya. Hampir setengah dari orang-orang yang disurvei mengatakan bahwa mereka tidak akan melakukan bisnis dengan siapa pun yang kelihatan tidak ramah. Biasanya para manajer wanita yang cenderung mempromosikan para karyawan yang murah senyum. Brian Bates, rekan penulis The Human Face mengatakan, ”Penelitian ini memperlihatkan betapa pentingnya senyum itu dalam masyarakat. Kita akan lebih suka berbagi kepercayaan, harapan, dan uang kita dengan orang yang murah senyum.” Senyum meningkatkan produksi endorfin penghilang rasa nyeri dalam tubuh, katanya menambahkan, dan orang yang tersenyum secara spontan ”lebih berhasil dalam kehidupan pribadi dan karier”.

Pertolongan yang Salah Kaprah?
Beberapa upaya untuk melestarikan penyu Bromo (Caretta) di Jepang telah menjadi bahan perdebatan, komentar The Daily Yomiuri. Menggali ke luar telur-telur penyu, mengeramkannya, dan melepaskan mereka ke laut pada akhirnya hanya akan menghambat kesanggupan navigasi bayi-bayi penyu itu. Penyu-penyu yang menetas secara alami ”mendeteksi gaya magnet bumi sewaktu merangkak melintasi pasir, dengan demikian mengembangkan naluri untuk menentukan arah”, lapor surat kabar itu. ”Penetasan buatan mencakup memelihara bayi penyu dalam suatu area tertutup sebelum menempatkan [mereka] ke lingkungan laut alami, sehingga mereka tidak dapat mengembangkan naluri untuk menentukan arah dan kesanggupan untuk mengarungi lautan sendiri.”

Penunjuk Waktu Paling Akurat
Sebuah tim ilmuwan AS telah mengembangkan sebuah jam ion air raksa yang ”keakuratannya hingga seperseribu triliun detik—unit waktu terkecil yang umum digunakan dalam sains”, lapor The Times dari London. Konon, jam itu ”kira-kira 1.000 kali lebih akurat daripada jam atom yang digunakan untuk menjalankan Co-ordinated Universal Time (UTC), standar penunjuk waktu seluas dunia”. Fisikawan Scott Diddams menjelaskan, ”Aplikasi pertamanya ialah dalam fisika fundamental, untuk memperoleh pemahaman yang jauh lebih terperinci tentang jagad raya.” Pada waktunya, jaringan telepon dan satelit navigasi juga akan memperoleh manfaatnya. Meskipun Diddams berpendapat bahwa alat penunjuk waktu ini adalah ”jam yang paling akurat di dunia”, ia mengatakan bahwa ada potensi untuk menjadikannya lebih baik lagi.

”Sensus Paling Akurat”?
Survei populasi AS tahun 2000 disebut sebagai ”sensus paling akurat dalam sejarah”, kata The Wall Street Journal. Akan tetapi, ”total sensus tahun 2000 memasukkan 5,77 juta orang yang diyakini ada oleh Biro Sensus itu tetapi tidak benar-benar ditemukan”. Surat kabar itu menjelaskan, ”Manakala biro tidak menerima jawaban dari apa yang diyakini adalah alamat-alamat yang berpenghuni, biro itu akan langsung memerintahkan komputer untuk ’memperkirakan’ bahwa di alamat-alamat itu ada orangnya, yang dilakukan berdasarkan berbagai petunjuk, termasuk respons para tetangga mereka.” Hal ini dilakukan bahkan ketika petugas sensus tidak tahu dengan pasti ada tidaknya rumah di alamat itu. Tebak-tebakan ini dapat mencakup berapa banyak orang yang tinggal di sana, usia, jenis kelamin, ras, dan status perkawinan mereka. Hal itu diyakini akurat, kata seorang petugas, ”karena orang-orang dari ras yang sama cenderung untuk hidup saling berdekatan”. Di beberapa negara bagian, orang-orang Amerika yang diperkirakan ada ini berjumlah hingga 3 persen dari total penduduk, dan metode perkiraan ini digunakan untuk mengisi kategori ras lebih dari 11 juta orang.

Pohon-Pohon Maut?
Sebuah perdebatan sedang dilakukan di Prancis untuk menentukan nasib sekitar 400.000 pohon yang berbaris di pinggir jalan-jalan negeri itu. Pohon-pohon pinggir jalan tersebut kian dipersalahkan atas kematian akibat kecelakaan kendaraan bermotor. Dari 7.643 kematian di jalan pada tahun 2000, 799 akibat menghantam pohon, lapor majalah Prancis L’Express. Namun, beberapa orang berpendapat bahwa penyebab yang sesungguhnya bukanlah pohon, melainkan alkohol dan kecepatan yang berlebihan. Meskipun demikian, antara 10.000 dan 20.000 pohon yang berdiri kurang dari dua meter dari pinggir jalan telah dipilih untuk ditebang. Mengacu kepada editorial The Wall Street Journal atas masalah itu, artikel majalah Prancis tersebut mengomentari bahwa pohon-pohon itu tampaknya telah melakukan ”kejahatan serius karena tidak menyingkir dari jalurnya para pengemudi yang mabuk”.

Tulisan Cina—Seni yang Mulai Sirna?
”Huruf-huruf Cina, yang dengan susah payah dihafal oleh anak-anak Cina dari generasi ke generasi, akan menghadapi ancaman terbesar—dari komputer,” kata The Daily Telegraph dari London. ”Orang-orang Cina elite terpelajar, yang selalu bangga karena mengetahui 6.000 huruf Cina di luar kepala, lupa bagaimana cara menuliskannya. Mereka masih bisa membacanya, tetapi tanpa komputer, banyak yang tidak tahu bagaimana caranya menuliskan huruf-huruf tersebut.” Sindrom ini disebut ”’ti bi wang zi’—atau angkat pena lupa huruf”. Sampai pada tahun 1980-an, hampir semuanya ditulis dengan tangan, tetapi setelah itu, perangkat lunak mutakhir telah memungkinkan huruf-huruf Cina dimasukkan ke papan ketik komputer. Akibatnya, seni menulis huruf indah dengan tangan ini, suatu keterampilan yang sangat dihargai dan konon menyingkapkan batin seseorang, mulai sirna dan ”meresahkan para linguis, psikolog, dan orang tua”.

Pola Makan Remaja
Sebuah survei baru-baru ini atas 1.739 gadis Kanada usia 12 sampai 18 tahun menyingkapkan bahwa 27 persennya memperlihatkan gejala kelainan perilaku makan, kata surat kabar Globe and Mail. Partisipan dari kota, pinggir kota, dan pedesaan melengkapi kuesioner yang menyelidiki perilaku makan serta ketidakpuasan terhadap bentuk tubuh. Data menyingkapkan bahwa beberapa remaja usia 12 tahun melahap banyak makanan lalu memaksakan diri untuk memuntahkannya atau minum obat diet, pencahar, dan diuretik untuk menurunkan berat badan. Menurut Dr. Jennifer Jones, ilmuwan peneliti dari Toronto’s University Health Network, gadis-gadis khususnya ”perlu mengembangkan sikap yang sehat terhadap makanan dan olahraga. Mereka perlu memahami tentang tubuh mereka dan bahwa gambar-gambar tubuh yang mereka lihat di papan reklame, di majalah, dan di video musik rock itu tidak normal”. Globe menambahkan bahwa, ”banyak gadis remaja tidak tahu bahwa mengakumulasi lemak selama masa pubertas adalah wajar, dan melakukan hal itu penting untuk pertumbuhan yang normal”.

Pil di Ruang Kelas
Semakin banyak anak yang meminum pil untuk mengatasi tekanan yang kian memuncak di sekolah, lapor Südwest Presse di Jerman. Satu dari 5 anak sekolah dasar dikabarkan meminum obat penenang atau perangsang kinerja. Di sekolah menengah, 1 dari 3 siswa meminum obat serupa. Akan tetapi, Albin Dannhäuser, presiden Asosiasi Guru Bavaria, berpendapat bahwa meminum obat guna mengendalikan stres atau meningkatkan prestasi adalah sebuah pilihan yang buruk, karena hal itu tidak akan menolong anak-anak mengatasi problem mereka. Ia memperingatkan orang tua agar tidak terlalu banyak menuntut dari anak-anak mereka tetapi agar ”peduli pada kesehatan fisik dan mental termasuk perkembangan kepribadian yang stabil”.

Kegunaan Lalang Hama
”Lalang seperti eceng gondok, lantana, dan parthenium telah membuat para pengembang frustrasi karena lalang-lalang itu sulit dimusnahkan,” kata India Today. Lantana camara, yang dibawa ke India oleh orang-orang Inggris pada tahun 1941 untuk digunakan sebagai pagar hidup, telah merambat hingga kira-kira 100.000 hektar dan hampir mustahil dilenyapkan—dengan cara biasa, dengan menggunakan zat kimia, maupun secara biologis. Zat racun lalang itu menghalangi pertumbuhan tanaman lain, dan seluruh desa harus dipindahkan karena serbuan ini. Akan tetapi, bagi penduduk desa Lachhiwala, lalang tersebut ternyata memiliki nilai ekonomi. Mereka mencampur lantana dengan lumpur untuk mendirikan rumah dan kandang ayam. Setelah kulit kayu lantana disingkirkan, lalang hama yang kebal serangga ini bisa dibuat menjadi perabot dan keranjang yang sangat bagus. Daun-daun lantana dimanfaatkan untuk penangkal nyamuk dan dupa batang. Setelah dihaluskan, akar tanaman itu dimanfaatkan untuk mengatasi infeksi gigi.

Dampak Pupusnya Harapan
”Mengapa beberapa orang meninggal sementara orang lain, yang mungkin sama-sama menderita sakit, terus hidup?” tanya Dr. Stephen L. Stern dari fakultas psikiatri di University of Texas Health Science Center di San Antonio. ”Satu jawaban atas pertanyaan ini mungkin terletak pada ada atau tidak adanya harapan.” Suatu penelitian atas 800 orang lansia Amerika memperlihatkan bahwa pupusnya harapan sering kali mengarah ke kematian dini. Akan tetapi, para peneliti menandaskan bahwa dampak pupusnya harapan sering kali berbeda pada setiap orang, bergantung pada faktor-faktor seperti pengalaman masa kecil, depresi, latar belakang kebudayaan, dan keamanan ekonomi.

Sayangilah Ikan-Ikan Paus dan Mahluk Raksasa Laut


Ikan Paus, mahluk raksasa laut yang hampir punah. Bayangkan ada program perburuan ikan paus. WWF (World Wildlife Fund) menyatakan apa yang disebut perburuan "ilmiah" ikan-ikan paus hanyalah upaya untuk menutup-nutupi kenyataan sesungguhnya bahwa daging hewan-hewan mamalia besar itu untuk perdagangan secara komersil. Laporan selengkapnya di sebuah situs web yang saya baca di link ini.

Mari kita hargai Karya Ciptaan ini. Tentu saja dengan bekal pemahaman tentang keberadaan mamalia laut yang membuat kita takjub. Saya buat klipingnya saja dari Awakepedia sebutan paling akrab untuk jurnal kiblatnya iblogronnp. Terdapat dalam publikasi terbitan bahasa Indonesia atau Sedarlah! Desember 2009. Halaman 15-17
















.......................................................................................................................................................................... Full viewer. Click picture diatas
Sebaliknya daripada melindunginya sekelompok orang memburu dan membantai Ikan Paus seperti di gambar-gambar berikut:
Fishermen slaughter a 10m-long bottlenos...
Caption: Minami-Boso, JAPAN: Fishermen slaughter a 10m-long bottlenose whale at the Wada port in Minami-Boso, Chiba prefecture, east of Tokyo, 21 June 2007 as the embargo of coastal whaling was lifted 20 June. Wada does not take part in 'research' catches but instead is one of four Japanese towns that openly kill whales for commercial sale, a practice allowed as the species they target are not protected by the IWC. AFP PHOTO/YOSHIKAZU TSUNO (Photo credit should read YOSHIKAZU TSUNO/AFP/Getty Images)

.......................................................Banyak dari antara spesies yang saat ini terancam punah. Artikel-artikel Terkait Berjudul:

Oil—Will It Ever Run Out?



HAVE you ever stopped to think what life for many would be like without petroleum and its products?*

Why is oil so vital to modern life? How do we get it? How much is left? Are there viable alternatives? How to many quastion Oil—How It Affects You, Oil—How Do We Get It?, Oil—How It Affects You, Oil—Will It Ever Run Out?

Oil—How It Affects You

Oil made from petroleum is used to lubricate motor vehicles, bicycles, strollers, and other things with moving parts. Oil lessens friction, thus slowing the breakdown of machine components. But that is not all.Oil is used to make fuel for planes, automobiles, and heating systems. A multitude of cosmetics, paints, inks, drugs, fertilizers, and plastics as well as a myriad of other items contain petroleum products. Daily life for many would be drastically different without oil. Little wonder that according to one source, petroleum and its derivatives have “a greater variety of uses than perhaps any other substance in the world.” How do we get oil? Where does it come from? How long has mankind used it?The Bible tells us that more than two millenniums before Christ, Noah, following divine instructions, constructed a gigantic vessel and used tar—possibly a petroleum substance—to make it watertight. (Genesis 6:14) Petroleum substances were used by the Babylonians for their kiln-dried bricks, by the Egyptians in the mummification process, and by other ancient peoples for medicinal purposes.Who would have imagined that this product would come to be of such importance in today’s world? No one can deny that modern industrial civilization depends on petroleum.The use of oil from petroleum for artificial lighting was oil’s springboard to fame. As early as the 15th century, oil from surface wells was used in lamps in Baku, today’s capital of Azerbaijan. In 1650, shallow oil reservoirs were dug in Romania, where oil, in the form of kerosene, was used for lighting. By the mid-19th century, that country and others in Eastern Europe already had a prosperous oil industry.In the United States, it was mainly the search for a high-quality illuminant in the 1800’s that made a group of men direct their efforts toward oil. These men rightly concluded that in order to produce enough kerosene to supply the market, they would have to drill for oil. So in 1859 an oil well was successfully drilled in Pennsylvania. The oil fever had begun. What happened next?

NEXT: Oil—How Do We Get It?








*[Footnote]
The word “petroleum” comes from Latin and means “rock oil.” It is customarily used to identify two closely related compounds—natural gas, also known as methane, and oil. Both substances sometimes seep to the surface through cracks in the earth. As for oil, it can be liquid or in the form of asphalt, pitch, bitumen, or tar.







What’s Happening to the Weather?

Foto Bandung juga kebanjiran

Lihat Judul Berita di KOMPAS 19 Februari 2010 yang kami baca di situs web-nya, "Awas Jakarta .... Bisa Tenggelam" pada tahun 2000-sekian!.
Juga Berita lain di Surat Kabar itu tentang Wilayah Jakarta yang berpotensi banjir di link ini.
Bandung juga banjir clik situs "detikBändung"


Banjir di Pilipina, Manila dan diluar negeri
lain sekitar bulan September-Oktober 2009








........................................................... 17-19 Januari di York UK








Mari kita lihat artikel yang pernah mengulas tentang banjir secara global. yang juga mengulas tentang cuaca pada tahun-tahun belakangan ini. [Dalam bahasa Indonesia di link ini]

What’s Happening to the Weather?
Strange weather patterns have wreaked havoc on places throughout the world. Does this mean that something is wrong with the weather?

The Weather—Is Something Wrong?
“WHEN two Englishmen meet, their first talk is of the weather.” So quipped the famous writer Samuel Johnson. In recent years, though, the weather has become more than a conversation starter. It has become a matter of grave concern to people all over the world. Why? Because the weather—which was always unpredictable anyway—seems to be increasingly erratic.

For example, during the summer of 2002, Europe was struck with unusually heavy rainstorms. They led, in fact, to what was described as “the worst central European floods in over a century.” Take note of the following news reports:

AUSTRIA: “The provinces of Salzburg, Carinthia, and Tirol were hit especially hard by severe rainstorms. Many streets were swamped in sludge, with piles of mud and debris up to 15 meters [50 feet] high. At Vienna’s Südbahnhof station, a thunderstorm caused a train accident that injured several people.”

CZECH REPUBLIC: “It has been a harrowing experience for Prague. But in the provinces the tragedy has been much worse. As many as 200,000 people have been moved from their homes. Whole towns have been submerged by the floods.”

FRANCE: “Twenty-three dead, 9 missing, and thousands sorely affected . . . Three people were fatally struck by lightning during Monday’s storms. . . . A fireman died after rescuing a couple in distress; they had been carried away in their car by the waters.”

GERMANY: “Never before in the history of the Federal Republic have towns and villages been evacuated to such an extent as they have been now during this ‘flood of the century.’ Residents have fled their hometowns by the thousands. Most have done so as a precautionary measure. Some were rescued from the floods at the last minute by boat or helicopter.”

ROMANIA: “About a dozen people have lost their lives since mid-July because of the storms.”

RUSSIA: “At least 58 people died on the shores of the Black Sea . . . About 30 cars and buses remain on the seabed, with no search of them possible after new storm warnings were issued.”

Not Confined to Europe
In August 2002 the German daily Süddeutsche Zeitung reported: “New spells of heavy showers and storms in Asia, Europe, and South America have wreaked havoc. On Wednesday at least 50 died in a landslide in Nepal. A typhoon killed eight people in southern China and brought heavy rainfall to central China. The China floods caused the Mekong River to reach its highest water level in 30 years, submerging upwards of 100 houses in northeast Thailand. . . . In Argentina at least five people drowned after heavy rains. . . . Over a thousand people have perished because of the summer storms in China.”

While water was plaguing many parts of the world, the United States was experiencing a severe drought. It was reported: “Concerns are nationwide regarding low and dry wells, widespread record low stream flows, and a more than double the normal amount of wildfires for the season. With crop and pasture losses, drinking water supply shortages, wildfires and dust storms, experts predict that the adverse economic impact of the drought of 2002 will be in the billions of dollars.”

Parts of northern Africa have been experiencing a devastating drought since the 1960’s. According to reports, “rainfall was twenty to forty-nine per cent lower than in the first half of the 20th century, causing widespread famine and death.”

The El Niño weather pattern*—triggered by a warming of the waters of the eastern Pacific—periodically causes flooding and other weather disruptions in North and South America. The CNN news organization reports that the 1983/84 El Niño was “responsible for more than 1,000 deaths, causing weather-related disasters on nearly every continent and totaling $10 billion in damages to property and livestock.” This phenomenon has returned with regularity (about every four years) since it was first identified in the 19th century. But some experts believe that “El Niño has stepped up its schedule” and that it will “appear more often” in the future.

An article published by the U.S. National Aeronautics and Space Administration gives this reassurance: “Most of that ‘weird’ weather we’ve been experiencing—that unusually warm fall or that particularly wet winter—is due to normal, regional changes in the weather.” Nevertheless, there are signs that a serious problem may exist. The environmental-activist organization Greenpeace predicts: “Dangerous weather patterns including more powerful hurricanes and heavy rains will continue to wreak havoc across the planet. More severe droughts and floods will literally change the face of the Earth, leading to the loss of coastal lands and the destruction of forests.” Is there any substance to such claims? If so, what is the cause of these “dangerous weather patterns”?

What’s Happening to the Weather?
“The catastrophic floods and severe storms we are now experiencing will become more frequent.”—THOMAS LOSTER, A WEATHER RISKS SPECIALIST.

IS SOMETHING really wrong with the weather? Many fear that there is. Meteorologist Dr. Peter Werner from the Potsdam Institute for Climate Impact Research says: “When we observe global weather—the extremes in precipitation, floods, droughts, storms—and note its development, we can rightly say that these extremes have quadrupled over the last 50 years.”

Many feel that the unusual weather patterns are evidence of global warming—the so-called greenhouse effect run amok. Explains the U.S. Environmental Protection Agency: “The greenhouse effect is the rise in temperature that the Earth experiences because certain gases in the atmosphere (water vapor, carbon dioxide, nitrous oxide, and methane, for example) trap energy from the sun. Without these gases, heat would escape back into space and Earth’s average temperature would be about 60°F [33°C] colder.”

Many charge, however, that man has unwittingly tampered with this natural process. Says an article in Earth Observatory, an on-line publication of the U.S. National Aeronautics and Space Administration: “For decades human factories and cars have spewed billions of tons of greenhouse gases into the atmosphere . . . Many scientists fear that the increased concentrations of greenhouse gases have prevented additional thermal radiation from leaving the Earth. In essence, these gases are trapping excess heat in the Earth’s atmosphere in much the same way that a windshield traps solar energy that enters a car.”

Skeptics point out that only a small percentage of greenhouse gas emissions are man-made. However, the Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), a research group that is sponsored by both the World Meteorological Organization and the United Nations Environment Programme, reports: “There is new and stronger evidence that most of the warming observed over the last 50 years is attributable to human activities.”

Climatologist Pieter Tans of the National Oceanic and Atmospheric Administration says: “If I had to put a figure on it, I would say that it is 60 percent our fault . . . The remaining 40 percent is due to natural causes.”

Possible Consequences of Global Warming
What, then, has been the apparent result of the buildup of man-made greenhouse gases? Most scientists now agree that the earth has indeed heated up. Just how dramatic has this temperature rise been? The 2001 IPCC report says: “Global surface temperatures have increased between 0.4 and 0.8°C since the late 19th century.” Many researchers believe that this small rise could account for the dramatic changes in our weather.

Admittedly, the earth’s weather system is astonishingly complex, and scientists cannot state with certainty what—if any—the effects of global warming are. However, many believe that as a result of global warming, there has been increased rainfall in the Northern Hemisphere, drought in Asia and Africa, and escalating El Niño events in the Pacific.


“Is Global Warming Harmful to Health?”
An article in Scientific American raised this intriguing question. It predicted that global warming “will expand the incidence and distribution of many serious medical disorders.” For example, in some places “the number of deaths related to heat waves is projected to double by 2020.”
Less obvious is the role global warming could play in infectious disease. “Mosquito-borne disorders are projected to become increasingly prevalent,” since mosquitoes “proliferate faster and bite more as the air becomes warmer. . . . As whole areas heat up, then, mosquitoes could expand into formerly forbidden territories, bringing illness with them.”
Finally, there are the effects of flood and drought—both of which can result in polluted water supplies. Clearly, the threat of global warming must be taken seriously.



Needed—A Global Solution
Since many view this problem as man-made, cannot man solve the problem? A number of communities have already enacted laws to limit pollution emissions from cars and factories. However, such efforts—commendable as they are—have had little or no impact. Pollution is a global problem, so the solution would have to be global! In 1992 the Earth Summit in Rio de Janeiro was convened. Ten years later, in Johannesburg, South Africa, the World Summit on Sustainable Development was held. Some 40,000 delegates attended this meeting in 2002, including about 100 national leaders.

Such conferences have done much to bring about a general consensus among scientists. The German newspaper Der Tagesspiegel explains: “Whereas most scientists back then [in 1992] had their doubts about the greenhouse effect, it goes practically unquestioned today.” Even so, Germany’s environment minister, Jürgen Trittin, reminds us that the real solution to the problem has still not been found. “Johannesburg must therefore be not only a summit of words,” he stressed, “but also a summit of action.”

Can Environmental Damage Be Halted?
Global warming is just one of many environmental challenges facing mankind. Taking effective action may be far easier said than done. “Now that we have finally faced up to the terrible damage we have inflicted on our environment,” writes British ethologist Jane Goodall, “our ingenuity is working overtime to find technological solutions.” But she cautions: “Technology alone is not enough. We must engage with our hearts also.”

Consider again the problem of global warming. Antipollution measures are costly; often, poorer nations simply cannot afford them. Some experts thus fear that energy restrictions will send industries fleeing to poorer lands where they can operate more profitably. Even the best-intentioned leaders, therefore, find themselves caught in a bind. If they protect their nations’ economic interests, the environment suffers. If they push for environmental protection, they endanger the economy.

Severn Cullis-Suzuki, of the World Summit advisory panel, therefore argues that change must come through individual action, saying: “Real environmental change depends on us. We can’t wait for our leaders. We have to focus on what our own responsibilities are and how we can make the change happen.”

It is only reasonable to expect people to behave with respect for the environment. But getting people to make needed changes in their life-styles is not so easy. To illustrate: Most people agree that automobiles contribute to global warming. Hence, an individual may want to cut back on driving or do without an automobile completely. But doing so may not be so easy. As Wolfgang Sachs from the Wuppertal Institute for Climate, Environment, and Energy recently pointed out, “all the places that play a role in daily life (workplace, kindergarten, school, or shopping center) lie so far apart that you cannot manage without a car. . . . Whether I personally want a car or not has nothing to do with it. Most folks simply have no choice.”

Some scientists, such as Professor Robert Dickinson of the Georgia Institute of Technology’s School of Earth and Atmospheric Sciences, fear that it might already be too late to spare earth from the consequences of global warming. Dickinson believes that even if pollution ceased today, the effects of past abuses to the atmosphere would still last for at least another 100 years!
Since neither governments nor individuals can solve the problems of the environment, who can? From ancient times, people have looked to the heavens for help in controlling the weather. As naive as such efforts were, they do reveal a basic truth: Mankind needs divine help to solve these problems
THE NEXT: No More Weather Disasters!
Online on situs web Watchtower.Org And Also you can read to publication Awake! in appeared 8 August 2003 (Approximately to printed of 38.400.000 in 82 languages)

______
[Footnote]
*See the article “What Is El Niño?” in the March 22, 2000, issue of Awake!


Spesies yang Terancam Punah—Ruang Lingkup Problemnya

DODO telah menjadi simbol kepunahan. Yang terakhir dari burung yang tidak dapat terbang ini mati sekitar tahun 1680 di Pulau Mauritius. Banyak dari antara spesies yang saat ini terancam punah juga hidup di pulau-pulau. Dalam 400 tahun terakhir, 85 dari antara 94 spesies burung yang dinyatakan punah adalah burung-burung pulau.

Satwa di benua-benua yang luas juga sedang terancam punah. Perhatikan harimau yang dulunya berkelana di seluruh Rusia. Kini hanya subspesies Amur yang masih tersisa di Siberia, dan jumlahnya telah menyusut hingga hanya 180 sampai 220 ekor saja. Harimau dari Cina Selatan dilaporkan berjumlah hanya 30 hingga 80 ekor. Di Indo Cina, binatang-binatang ini terancam punah ”dalam waktu sepuluh tahun”, lapor The Times dari London. Demikian pula, di India, yang merupakan habitat dari kira-kira dua pertiga jumlah harimau di dunia, para pejabat yang berwenang memperkirakan bahwa makhluk besar ini dapat punah dalam satu dasawarsa.

Badak dan chetah sedang di ambang kepunahan. Di Cina, panda raksasa berkelana dalam kelompok-kelompok berjumlah sedikitnya sepuluh ekor. Pine marten (sejenis musang) hampir punah di Wales, dan tupai merah ”mungkin akan lenyap dari daratan Inggris dan Wales dalam sepuluh hingga 20 tahun mendatang”, demikian pendapat The Times. Di seberang Lautan Atlantik di Amerika Serikat, kelelawar adalah mamalia darat yang paling terancam punah.

Prospek lautan dunia tidak kalah suramnya. The Atlas of Endangered Species melukiskan penyu laut sebagai ’kelompok makhluk laut yang mungkin paling terancam punah’. Amfibi tampaknya lebih baik keadaannya; namun, menurut New Scientist, 89 spesies amfibi berada ”di ambang kepunahan” dalam 25 tahun terakhir. Kira-kira 11 persen dari spesies burung di dunia menghadapi kepunahan juga.

Tetapi bagaimana dengan makhluk-makhluk yang lebih kecil, seperti kupu-kupu? Situasinya serupa. Dari antara 400 spesies kupu-kupu di Eropa, lebih dari seperempatnya berada dalam bahaya—19 spesies sedang di ambang kepunahan. Kupu-kupu besar tortoiseshell dari Inggris mengalami nasib serupa seperti dodo dalam daftar spesies yang punah pada tahun 1993.

Keprihatinan yang Meningkat
Berapa banyak spesies binatang yang punah setiap tahunnya? Jawabannya bergantung siapa pakar yang Anda tanyakan. Walaupun para ilmuwan tidak sependapat, semua orang mengakui fakta bahwa banyak spesies sedang terancam punah. Ekolog bernama Stuart Pimm mengamati, ”Kontroversi berkenaan betapa cepatnya kita kehilangan [spesies] pada dasarnya merupakan perdebatan tentang masa depan kita.” Ia menambahkan, ”Selama abad-abad yang lalu, kita telah mempercepat tingkat kepunahan spesies jauh di atas tingkat yang wajar. Akibatnya, masa depan kita semakin memburuk.”

Planet kita, Bumi, bagaikan sebuah rumah. Beberapa orang yang prihatin akan spesies yang terancam mempelajari ekologi, suatu istilah yang ditemukan pada akhir dari abad ke-19 dan yang berasal dari kata Yunani oi′kos, yang artinya ”rumah”. Ekologi berfokus pada hubungan antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Pada abad ke-19 terdapat minat yang bertumbuh akan konservasi, tidak diragukan karena adanya laporan-laporan mengenai kepunahan yang terjadi. Di Amerika Serikat, keadaan ini menyebabkan didirikannya taman-taman nasional dan daerah-daerah suaka yang menyediakan tempat yang aman bagi para satwa. Saat ini, terdapat kira-kira 8.000 daerah perlindungan margasatwa yang dikenal secara internasional di seluas dunia. Berikut 40.000 lokasi lain yang turut memelihara habitat, semuanya mencakup hampir 10 persen dari seluruh daratan di dunia.

Banyak orang yang prihatin kini mendukung apa yang disebut gerakan hijau, baik melalui gerakan-gerakan yang mempublisitaskan ancaman kepunahan atau yang sekadar mendidik orang tentang saling ketergantungan dalam kehidupan. Dan sejak diadakannya Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio de Janeiro pada tahun 1992, kesadaran yang lebih besar akan masalah lingkungan pada umumnya mencirikan pemikiran pemerintah.

Spesies yang terancam punah merupakan masalah global yang semakin meningkat. Tetapi mengapa? Apakah ada upaya-upaya jitu untuk mencegah kepunahan spesies baru-baru ini? Dan bagaimana dengan masa depan? Bagaimana ini melibatkan Anda? Artikel berikut ini menyediakan jawabannya.
Appeared in Awake! August 8, 1996 Jehovah's Witnesses Official Web Site

Intriguing Patterns in Plants

HAVE you ever noticed that many plants grow in spiral formations? A pineapple, for example, may have 8 spirals of scales going around one way and 5 or 13 going in the opposite direction. (See figure 1.) If you look at the seeds in a sunflower, you may be able to see 55 and 89 spirals crossing over each other or perhaps even more. You may even find spirals on a cauliflower. Once you start noticing spirals, visits to your fruit and vegetable store may take on new interest. Why do plants grow in this way? Does the number of spirals have any significance?
How Do Plants Grow?
Most plants form new organs such as stems, leaves, and flowers from a tiny central growing point called a meristem. Each new structure, called a primordium, develops and grows out from the center in a new direction, forming an angle with the previous growth. (See figure 2.) Most plants arrange new growths at a unique angle that produces spirals. What angle is it?

Consider this challenge: Imagine trying to engineer a plant so that new growths are compactly arranged around the growing point with no wasted space. Suppose you chose to make each new primordium grow out at an angle of two fifths of a revolution from the previous growth. You would have the problem of every fifth primordium growing from the same spot and in the same direction. They would form rows with wasted space between the rows. (See figure 3.) The truth is, any simple fraction of a revolution results in rows rather than optimal packing. Only what has been termed the “golden angle” of approximately 137.5 degrees results in an ideally compact arrangement of growths. (See figure 5.) What makes this angle so special?

The golden angle is ideal because it cannot be expressed as a simple fraction of a revolution. The fraction 5/8 is close to it, 8/13 is closer, and 13/21 is closer still, but no fraction exactly expresses the golden proportion of a revolution. Thus, when a new growth on the meristem develops at this fixed angle with respect to the preceding growth, no two growths will ever develop in exactly the same direction. (See figure 4.) Consequently, instead of forming radial arms, the primordia form spirals.

Remarkably, a computer simulation of primordia growing from a central point produces recognizable spirals only if the angle between new growths is correct to a high degree of accuracy. Straying from the golden angle by even one tenth of a degree causes the effect to be lost.—See figure 5.

How Many Petals on a Flower?
Interestingly, the number of spirals that result from growth based on the golden angle is usually a number from a series called the Fibonacci sequence. This series was first described by the 13th-century Italian mathematician known as Leonardo Fibonacci. In this progression, each number after 1 is equal to the sum of the previous two numbers—1, 1, 2, 3, 5, 8, 13, 21, 34, 55, and so on.

The flowers of many plants that exhibit a spiral growth pattern often have a Fibonacci number of petals. According to some observers, there is a tendency for buttercups to have 5 petals, bloodroots 8, fireweeds 13, asters 21, common field daisies 34, and Michaelmas daisies 55 or 89. (See figure 6.) Fruit and vegetables often have features that correspond to Fibonacci numbers. Bananas, for example, have a five-sided cross section.

“Everything He Has Made Pretty”
Artists have long recognized the golden proportion as the most pleasing to our eyes. What makes plants form new growths precisely at this intriguing angle? Many people conclude that this is but another example of intelligent design in living things.

In contemplating the design of living things and our capacity to find pleasure in them, many discern the hand of a Creator who wants us to enjoy life. Of our Creator the Bible says: “Everything he has made pretty in its time.”—Ecclesiastes 3:11.
From Awake! Publication September 2006. unonline in situs Jehovah's Witnesses Official Web Site


In this series: in Bahasa Indonesia

Related Topics: What Does Nature Teach? in Bahasa: Apa yang Alam Ajarkan?



______
[Footnote]
Curiously, the sunflower is unusual in that the florets that become seeds begin to form spirals from the rim of the head rather than the center.


White flower: Thomas G. Barnes @ USDA-NRCS PLANTS Database